random

Mengenal Madura Lebih Jauh: Identitas yang Tak Selesai

Sebuah sampan penumpang mendarat di Pulau Sapudi
Foto: Dandy IM
Sejak merantau ke Jawa, amat sering saya mendengar pertanyaan: kenapa logat bicaramu tidak terasa Madura? Pertanyaan ini adalah contoh yang pas untuk menjelaskan bahwa orang yang bukan Madura mayoritas memandang Madura adalah sebuah suku dengan identitas yang tunggal. Beberapa orang bahkan tahunya Madura secara teritori hanyalah sebuah pulau yang kini disambung dengan Jawa oleh Jembatan Suramadu. Padahal, Madura terdiri dari ratusan pulau. Beberapa kawan pernah bertanya, kok pulang dari Jawa masih naik kapal? Bukannya sekarang sudah ada Suramadu? Akhirnya lagi-lagi saya mesti menjelaskan bahwa rumah saya bukan di Pulau Madura, tapi di pulau bedebah bernama Sapudi.

Jikalau seseorang mengenal Madura melalui seorang Kadir si tukang melucu atau Mbok Bariah di serial Si Unyil, tentu saja ketika ia bertemu saya akan merasa logat bicara saya kurang terasa Madura. Sebab logat saya tak seperti Kadir atau Mbok Bariah. Seperti Jawa dan suku-suku lainnya, perbedaan geografis akan membuat logat dan bahasa menjadi berbeda bahkan jauh berbeda. Di Sumenep, kabupaten paling timur di Madura, kamu dalam Bahasa Madura menjadi bekna. Di Pamekasan, menjadi be’en. Kalau lebih ke barat lagi, yaitu ke Sampang dan Bangkalan, menjadi kake. Itu baru kosa katanya, belum logatnya. Bahkan di Pulau Sapudi, antara kota kecamatan dan pedesaan terjadi perbedaan logat. Hal itu yang pernah membuat saya berkelahi dengan anak kecamatan saat ia mengolok-olok logat saya yang anak desa.


Sebelum kita berbincang lebih jauh soal suku, kita perlu tahu dulu perbedaan antara etnis dan ras. Menurut Abdul Gaffar Karim, dosen Fisipol UGM yang juga orang Sumenep, ras berhubungan dengan sesuatu yang fisik. Hidungnya mancung, kulitnya cokelat, rambutnya gaya mi instan, matanya abu-abu rembulan, itulah ras. Sedangkan etnis terbentuk melalui tradisi. Laku tradisi bisa dibentuk oleh pengaruh agama, budaya, cara hidup, dll.

Berbicara soal rasial, di Madura tidak terlalu kentara. Memang di Sumenep cukup dipengaruhi oleh China, sedangkan di Bangkalan, daerah yang dekat Surabaya, banyak dipengaruhi oleh keturunan Arab. Tapi seiring berjalannya waktu tentu ada perubahan.


Nah, perbedaan yang lebih kuat terjadi pada tataran etnis. Orang yang besar di daerah Madura barat, lebih cenderung ditempa oleh masyarakat yang cekatan dalam bidang wirausaha. Karakter Madura yang satu ini kemudian yang lebih banyak mengemuka ke publik sehingga tertanam di benak orang. Madura menjadi identik dengan tukang jual sate, tukang cukur rambut, dan agen besi tua.


Namun, apabila kita menengok ke daratan Sumenep, yang merupakan pusat kerajaan di masa lampau, sastra dan kesenian menjadi berkembang. Tapi, sebetulnya pernyataan yang baru saja saya tulis itu baru saya amini akhir-akhir ini. Dulu saya sendiri menyangsikan orang-orang Madura bisa unjuk gusi di bidang sastra. Setelah saya rajin menelusuri media cetak dan digital, ternyata karya-karya penulis Madura kerap nongol. Bahkan beberapa kali muncul di rubrik cerpen Kompas – sebuah barometer percerpenan yang diperhitungkan. Dan, uniknya, tumbuh menjamurnya para penyair dan sastrawan di Madura ini terjadi di pesantren.


Penelusuran ke zaman yang lebih lampau makin mengkonfirmasi geliat intelektual dan kebudayaan di Madura. Pada abad XVIII dan XIX, orang-orang Madura produktif menghasilkan karya terutama di bidang politik dan sastra. Sayang, Belanda tak suka itu. Pemikiran politik yang bisa dibilang progresif itu dipercaya Belanda akan berpengaruh pada semangat memberontak kerajaan yang menaunginya. Belanda akhirnya menjalankan semacam rekayasa sosial agar Madura, yang hanya daratan cabang kekuasaan di Jawa sepanjang masa kolonial, mendapat penilaian publik yang buruk. Suatu cap karakter yang mungkin masih sering muncul hingga sekarang.

Itu kita baru membicarakan Madura di pulau Madura.

Apabila menyeberang ke timur dari pulau Madura, ke sebuah gugusan pulau yang lebih dari setengahnya belum berpenghuni, kita akan kembali menjumpai wajah Madura yang berbeda. Ini sarang para pelaut. Aktivitas para pelaut itu tak hanya dengan pulau Madura atau Jawa saja. Dengan hanya berbekal perahu kayu dan jarum kompas, tanpa peta dan peralatan navigasi canggih, sambil mengandalkan ilmu perbintangan, mereka berlayar ke utara. Bahkan ada juga yang nekat tidak memasang lampu di perahunya. Paling banyak memang tujuan Kalimantan. Sebagian kecil ke Sulawesi. Perahu-perahu mereka mengangkut barang dagangan, dari pupuk sampai balok-balok kayu. Mereka membongkar barang-barang itu di Gresik, Tuban, dan Jepara. Salah satu buktinya sepeda motor Astrea punya kakek saya dan beberapa motor tetangga yang berplat K. Mereka mengangkut sepeda motor itu ke perahu di Pati.

Aktivitas pelayaran yang sempat ramai inilah yang membuat gugusan pulau di daerah paling Timur Madura, yaitu Kangean, banyak dihuni oleh orang-orang dari Kalimantan dan Sulawesi. Mereka menikah dengan orang setempat, hingga beranak pinak di situ juga. Bahasa di daerah itu bahkan sangat berbeda dengan bahasa Madura. Saya pun kesusahan memahaminya.

Walau kini pelayaran ramai itu sudah tinggal cerita. Seiring dengan arus deras memunggungi laut.



Ini pun baru kisah tentang Madura negeri. Madura swasta di daerah tapal kuda (Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Jember, dan sekitarnya) belumlah dituturkan. Di wilayah ini hidup sekelompok masyarakat yang disebut Madura, tapi sebagian di antaranya belum pernah ke Madura. Madura di wilayah ini bukan merujuk pada sebuah tempat, tapi pada kesamaan bahasa dan cara hidup.

Sampai di sini makin benderang, Madura bukanlah sebuah identitas yang tunggal. Dan bisa dibilang, seperti yang saya kutip di judul, Madura adalah identitas yang tak selesai. Sebab dari sejarah kehidupannya, tidak muncul semacam panduan bagaimana menjadi Madura. Tidak umum di Madura sebuah kitab pedoman yang menyebutkan bahwa untuk menjadi Madura, orang harus begini harus begitu. (Yang mendefinisikan orang Madura secara statis akhirnya saluran televisi). Tiap-tiap daerah, dari ujung Barat sampai Timur, mengembangkan cara pandang hidupnya masing-masing. Kecenderungan semacam ini cukup gamblang dijelaskan pemicunya oleh Kuntowijoyo. Menurutnya, karena struktur sosialnya yang merupakan masyarakat tegalan – berbeda, misalnya, dengan Jawa yang berupa masyarakat sawah dengan topangan sistem irigasi – orang Madura jadi lebih suka mengembangkan cara hidup melalui kelompok-kelompok kecil. Tegal yang tandus dan tak didukung sistem irigasi sehingga hanya menadah hujan, membuat orang Madura suatu kala mesti keluar untuk mencari sumber hidup. Dan akhirnya terpengaruh sesuai dengan tempat singgah masing-masing.

Tidak adanya pedoman cara hidup yang jelas ini dicirikan oleh motif batiknya. Kalau diamati, batik Madura tak jelas motif batiknya mau gimana. Kayak acak-acakan. Setiap pembatik di Madura seakan-akan bebas menggores motif batiknya sendiri, sesuai dengan suasana hatinya yang terkini. Itu simbol pencarian identitas yang tak kunjung selesai. Kalau bahasa Maduranya: in the making.

Dandy IM
The Tapak
Mengenal Madura Lebih Jauh: Identitas yang Tak Selesai Reviewed by Dandy Idwal on September 13, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Komentari kalo perlu ...

© 2016 - 2017 Tapak | Mencatat Jejak All Rights Reserved.
Diberdayakan Blogger. Didesain oleh Junion dari Jejak Creativate

Kontak Redaksi

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.