random

Terbuka pada Perbedaan Praktek Ibadah

Sumber ilustrasi: akdn

Di Yogya, ada sebuah masjid. Saya kadang-kadang sembahyang di situ bila sedang rajin dan di saat sembahyang Jumat. Saya merasakan hal yang seperti biasanya.

Tapi banyak teman-teman saya yang berucap bahwa masjid itu tidak biasa-biasa saja. Dalam arti, ada keanehan di masjid itu. Salah satu teman saya berujar, kalau kita sembahyang di masjid itu, setelah kita selesai sembahyang dan pergi, tempat kita sembahyang akan langsung dibersihkan oleh pengurus masjid. Katanya, karena kita bukan jemaah masjid tersebut. Teman saya bahkan menambahkan kalimat yang lebih tajam: bekas kita dianggap najis di situ.

Berkali-kali saya sembahyang di sana, belum pernah saya melihat kejadian yang seperti itu. Atau, karena saya tidak mengintip kembali ke arah masjid setelah saya terlihat keluar dari masjid? Sayangnya saya belum pernah melakukannya dan tidak ingin melakukannya.

Teman saya yang lain juga bercerita bahwa khutbah Jumat di masjid itu aneh. Khutbah disampaikan dalam Bahasa Arab, bukan Bahasa Indonesia seperti masjid-masjid lain. Khotibnya pun hanya membaca buku yang telah tersedia di mimbar.

“Mereka punya bacaan sendiri buat khotbah. Aliran sendiri.” Begitu kata teman saya. Ini kemudian menjadi alasan teman saya tidak mau Jumatan di masjid tersebut.

Untuk yang terakhir ini saya membenarkan. Beberapa kali di masjid tersebut, khitobnya memang hanya membaca buku sepanjang khotbah. Walaupun, pernah juga khotbah disampaikan dengan Bahasa Indonesia.

Tapi saya tidak kaget sama sekali. Sebab, di masjid di kampung halaman saya, juga melakukan hal yang sama. Bahkan bisa dibilang lebih “aneh” lagi. Suatu kali di hari Jumat, yang menjadi khotib adalah sesepuh di kampung kami. Tandatangannya berbentuk huruf arab yang tersusun menjadi kata Allah (saya masih ingat, karena beliau menandatangani buku laporan Ramadhan saya saat masih SD). Beliau sudah hafal buku yang selama ini dibaca untuk khotbah. Sehingga, beliau tidak memegang buku. Dengan mata terpejam, bermodal hafalan, beliau berkhotbah. Tentu saja dengan Bahasa Arab. Di tangannya hanya ada tongkat yang ujung atasnya tertancap keris namun ditutup oleh bilah kayu.

Di tengah khotbahnya, hafalan beliau macet. Beberapa kali beliau mengulang-ulang kalimat terakhir yang beliau hafal. Namun, hafalan selanjutnya tak kunjung tiba juga. Ada kawan saya yang duduk di shaf paling belakang – bersama saya, menghentak lantai berkali-kali dengan tangannya, berharap hafalan beliau kembali. Ternyata berhasil. Saat khotib lancar berkhotbah lagi, teman saya cekikian, merasa berhasil dengan usahanya.

Tentu saja hampir semua – untuk tidak mengatakan semua – warga kampung saya tidak bisa berbahasa Arab. Mereka tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh khotib. Tapi, selama ini, sembahyang Jumat di kampung saya nikmat-nikmat saja. Ibadah tetap berjalan dengan khusuk. Kehidupan di kampung saya selama ini juga tentram-tentram saja. Memang, kadang-kadang ada khotib yang memakai bahasa daerah saat khutbah, tapi itu tidaklah sering. Lagi pula, buat apa berkhotbah dengan bahasa daerah, atau Bahasa Indonesia, atau bahasa-bahasa yang kita mengerti, kalau isinya penuh ujaran kebencian?

Kuncinya, menurut saya, terletak pada sikap terbuka. Kita semestinya lebih berusaha untuk tidak kagetan. Toh, Islam di Nusantara ini dalam kenyatannya memang beragam, dan ini membawa nikmat. Sebab saya juga percaya, Islam begitu indah sehingga bisa menyerap ke segala jenis budaya, kondisi sosial, dan tingkat pendidikan.

Saya tidak sedang membela masjid yang saya ceritakan ini. Saya juga bukan ingin berkata bahwa masjid-masjid yang khotbahnya dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah itu buruk. Perdebatan dalam hal ini tidaklah penting.

“Yang salah itu bukan yang shalat subuh memakai qunut atau yang tidak memakai qunut. Yang salah itu yang tidak shalat,” ucap KHR. Khoil As’ad Syamul Arifin, pengasuh Pondok Pesantren Walisongo, Situbondo, suatu kali dalam acara pengajian.
Terbuka pada Perbedaan Praktek Ibadah Reviewed by Dandy Idwal on Mei 29, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Komentari kalo perlu ...

© 2016 - 2017 Tapak | Mencatat Jejak All Rights Reserved.
Diberdayakan Blogger. Didesain oleh Junion dari Jejak Creativate

Kontak Redaksi

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.