Kiat Menghadapi Perpecahan di Medsos
Perang-perangan tagar.
Foto: Ridwan AN
|
Kebisingan yang sehari-hari kita hadapi itu – seberapapun kuat kita menghindarinya – terus menguji kita apakah masih bisa berpikir sehat. Misalnya soal kemelut pilihan politik. Akun-akun provokatif tak bosan-bosannya menyeret kita agar menilai segala sesuatu dari sudut pandang pilihan politik. Kalau saya seorang pendukung Jokowi, maka akun-akun cebong akan lebih menarik perhatian saya. Kalau saya lebih mendukung Prabowo dalam Pilpres 2019, ceriwisan akun kampret bakal lebih banyak menyedot minat saya. Sialnya, ketika terus-terusan mengikuti akun cebong, saya jadi merasa bahwa negara ini berjalan baik-baik saja, tak ada masalah. Namun, ketika saya sering mengikuti akun-akun kampret, lha kok jadinya saya berpikir pemerintah melakukan hal yang salah terus.
Tapi apa salah mempunyai pilihan politik? Tentu tidak. Kita bebas-bebas saja lebih percaya Jokowi atau Prabowo yang dapat membuat hidup kita jadi lebih baik. Yang menjadi masalah, akibat pilihan politik yang menjadi alat dominan untuk menilai suatu peristiwa, nalar kita jadi tumpul. Kita ngobrol soal data kemiskinan berdasarkan keyakinan. Sebagai pendukung Jokowi, kita yakin saja angka kemiskinan tahun ini adalah yang paling rendah sepanjang sejarah, tanpa mengecek tolok ukur dan fakta yang ada. Sebagai seorang anti Jokowi, kita akan menuding pernyataan tersebut hanyalah omong kosong belaka, sebab dari pengalaman personal atau sekelompok masyarakat, hidup makin susah. Begitu juga saat kita ngobrolin kondisi rupiah. Sebagai pesorak Jokowi kita akan berkeluh, kok ini orang-orang seneng sih rupiah melemah? Bukankah itu juga berarti menertawakan kondisi mereka sendiri? Bukannya mereka bagai penumpang sampan kecil yang menertawakan teman-temannya yang sedang jerih payah menguras genangan air akibat kebocoran sampan padahal mereka sendiri juga terancam tenggelam? Sebagai tim hore Prabowo, kita akan berjihad membagikan pranala dan grafis yang berisi data aktual melemahnya rupiah, tanpa sempat berpikir bagaimana memperbaikinya.
Ya, memang sebegitu diperkosanya nalar kita oleh perpecahan di dunia maya. Walau kita sudah sarjana sekalipun.
Lalu, apakah bersikap netral dijamin aman? Belum tentu. Bakal aman kalau kita tak ikut-ikutan terpancing sama riuh perpecahan itu. Akan menjadi percuma kalau sikap kita netral, tapi ikut mengaduk-aduk perpecahan sehingga makin pecah. Kita terjun ke gelanggang pertempuran palsu dengan gaya pendakwah lalu berceramah sana-sini soal kehidupan. Di gelanggang itu kita mengolok-olok tagar grup yang satu dan mencibir tagar grup satunya lagi. Dan tagar-tagar itu pun semakin bising.
Itulah paradoks dunia digital. Langkah yang lebih bijak untuk menghadapi kebisingan yang tak perlu bukan dengan meladeninya, tapi mendiamkannya. Berdasarkan obrolan di pojok toko buku, seorang ahli bidang digital berkata, akun-akun yang rutin menyebarkan isu-isu perpecahan tak lebih dari 0,4 persen. Akan tetapi, mereka sangat bising dan, sialnya, ditanggapi. Alhasil isu-isu perpecahan yang mereka gaungkan memenuhi ruang digital. Kita jadi menyangka bahwa kondisi masyarakat kita sudah sedemikian parahnya.
Kata kuncinya: cuekin yang nggak penting, jangan mudah terprovokasi. Menanggapi cuma bikin mereka senang.
Maka, kini yang terpenting adalah kualitas saringan di otak kita. Biar kita bisa memilah, mana yang nutrisi mana yang penyakit. Ingat-ingatlah kata Sherlock Holmes, otak kita jadi tak berfungsi maksimal apabila dipenuhi oleh data-data sampah.
Dandy IM
The Tapak
Kiat Menghadapi Perpecahan di Medsos
Reviewed by Dandy Idwal
on
September 10, 2018
Rating:
Tidak ada komentar:
Komentari kalo perlu ...