random

Kura-Kura Berjanggut Hanyut ke Laut

Foto: Dandy IM
Saya semakin tertarik melihat Indonesia dari kaca mata maritim setelah memutar kembali video pidato kebudayaan Hilmar Farid di Dewan Kesenian Jakarta tahun 2014. Hilmar, seorang aktivis yang kini menjabat Direktur Jenderal Kebudayaan, membaca uraian panjang kemaritiman yang ia beri judul Arus Balik Kebudayaan: Sejarah sebagai Kritik. Bagian yang paling menggugah dari pidato itu, saat ia bilang bahwa untuk melawan arus memunggungi laut, kita tidak dapat menghadapinya hanya dengan menambah jumlah kapal, mengembangkan infrastruktur, atau memberi insentif bagi penanaman modal. Sebab pemicu arus yang deras itu adalah masalah kebudayaan. Utara (utamanya China) yang terus menggempur Selatan (sampai Jawa) lebih disebabkan oleh cara hidup kita yang semakin lari dari pesisir dan ngumpet ke pedalaman belantara.

Menurut Hilmar kita butuh imajinasi baru, bukan untuk mengembalikan kebudayaan yang hilang, tapi untuk menghidupkan kembali sistem pengetahuan, cara pandang dan cara hidup, atau singkatnya kebudayaan maritim, yang dikerdilkan selama sekurangnya dua ratus tahun oleh kolonialisme.

Kita tak bisa terus-terusan terjebak pada narasi kejayaan masa lalu yang bikin silau dan terlena. Kita perlu menahan diri untuk tidak melulu terbuai dengan cerita kejayaan Majapahit dan Sriwijaya yang kekuasaannya mencapai daratan seberang. Cerita gagah-gagahan semacam itu mungkin berguna untuk memelihara harapan bangsa yang kalah, tapi tak memberi dorongan untuk berbenah.

Alih-alih mabuk dengan kejayaan masa lalu sambil tangan menengadah dan berharap datangnya Ratu Adil yang membawa kemakmuran itu, mending sabar dan telaten belajar bagaimana mereka dulu hidup. Bagaimana Majapahit menjalankan perdagangannya. Bagaimana Sriwijaya berinteraksi dengan pedagang-pedagang China. Bagaimana Kerajaan Gowa-Tallo mengelola laut di sekitarnya hingga Flores. Tentu saja kita perlu tahu dan belajar juga mengapa kerajaan-kerajaan itu runtuh – Hilmar merekomendasikan Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer sebagai salah satu sumber cerita kemunduran Majapahit.

Kenapa kita perlu mempelajarinya? Saya malas membeberkannya. Sila cek sendiri saja kekayaan laut, panjang garis pantai, geografis permukiman, hingga hancur luluhnya hutan-hutan di Kalimantan akibat gerak roda ekonomi yang fokus di daratan.

Setelah beberapa lama diganggu oleh perspektif semacam ini oleh Hilmar, saya mulai menelusuri jejak-jejak maritim Nusantara. Pertama, energi saya curahkan untuk membaca buku kecil tapi isinya padat karya Adrian B. Lapian yang berjudul Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17. Bagian yang paling saya ingat, sejarawan Universitas Indonesia ini berhasil menjelaskan sistem kerja kapal-kapal dagang. Lautan yang amat tak tentu menuntut organisasi kerja yang ketat. Karena, kalau mengutip syair Madura, kehidupan di laut bagai berbantal ombak dan berselimut angin.

Baca juga: Imam Besar Bernama Ronaldo

Selanjutnya, saya coba membaca Persaingan Eropa dan Asia di Nusantara karya seorang Belanda M.A.P Meilink-Roelofsz. Seperti halnya buku Lapian, penulisannya sangat akademis. Tiap kalimat disuguhkan dengan kesan ingin diyakini sebagai fakta. Tak heran bertebaran rujukan tahun dan angka-angka, seperti nilai tukar perdagangan dan jumlah muatan kapal. Saya belum menyelesaikannya. Otak dan waktu belum mampu. Saya beralih begitu saja ke buku ketiga, Nusantara dalam Catatan Tionghoa karya W.P. Groeneveldt, yang menyajikan catatan-catatan dinasti China mulai dari Sumatera hingga Maluku. Sebagaimana diperingatkan oleh penulisnya, karena catatan yang digunakan berasal dari China, tentu perspektif yang digunakan mengikuti cara pandang sumbernya. Bisa saja catatan itu diubah sedemikian rupa agar dinasti China terkesan lebih wow daripada kerajaan-kerajaan di Nusantara. Dan bisa juga catatan-catatan itu berasal dari pedagang Nusantara yang hanya ingin mendapatkan keuntungan dengan menyanjung kaisar China.

Makanya, saya bersorak ketika lahir Kura-Kura Berjanggut. Membaca sinopsis di halaman belakangnya saja, saya sudah membayangkan akan disuguhi kehidupan kesultanan Aceh dan para pedagang serta perompak di Selat Malaka. Namun, berbeda dengan karya-karya Pramoedya yang berupa novel sejarah, yang kerap menyajikan adegan-adegan tak penting demi menggapai nuansa realisme, ternyata cerita ini tidak demikian.

Novel 960 halaman ini terasa bagai padang savana bagi saya. Melegakan. Setelah saya penat mengikuti berbagai uraian akademis tentang kehidupan maritim, Azhari Aiyub memberi bacaan yang segar. Sebagaimana lazimnya cerita bagus, otak kita tidak dipaksa menghafal pernyataan-pernyataan yang bikin mual apalagi nasehat amis, tapi menikmati beragam adegan yang masyaallah nikmatnya. Kalimat-kalimat pembentuk ceritanya juga jahanam enaknya. Tak heran karena yang menyunting pendongeng ulung Yusi Avianto Pareanom. Walaupun, ada beberapa kata yang tercetak dua kali.

Begitu selesai membaca cerita panjang ini, saya belum juga dapat memahami cara hidup masyarakat maritim Nusantara, walau ini spesifik di Aceh. Mungkin saya yang bodoh. Namun mungkin juga ceritanya yang begitu asyik, akibat imajinasi, pengetahuan, dan logika penulisnya yang amat luhur, sehingga saya tidak peduli lagi dengan isinya. Saya lebih menikmati cara Azhari bercerita tentang tempat yang amat ia cintai. Memang tidak mengherankan cara bercerita tokoh di novel ini begitu sedap, menulisnya saja butuh waktu dua belas tahun. Mungkin juga benar kata Eka Kurniawan: cerita bagus kan bukan karena ngomongin apa, tapi ya karena elok cara berceritanya. Entahlah. Salah satu yang paling saya ingat dari novel ini ya definisi kontol agung versi bajak laut: panjang, besar, bengkok, dan berurat.

Dandy IM
Tapak
Kura-Kura Berjanggut Hanyut ke Laut Reviewed by Dandy Idwal on Juli 04, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Komentari kalo perlu ...

© 2016 - 2017 Tapak | Mencatat Jejak All Rights Reserved.
Diberdayakan Blogger. Didesain oleh Junion dari Jejak Creativate

Kontak Redaksi

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.