random

Imam Besar Bernama Ronaldo

Pagi-pagi sekali di Selat Gulag, awak kapal besar berbendera Kastilla menggulung tiga layar besarnya. Kapal besar itu, yang mengangkat nakhoda pengkhianat bernama Fernando Si Pincang sebagai pemimpinnya, dibuntuti oleh lima kapal yang lebih kecil tapi tak kalah agung. Mereka membuang sauh lalu mengirim satu biduk kecil. Tampaknya mereka tak ingin gegabah menyerang Benteng Suci.

Mereka benar-benar mengirim utusan. Satu orang aku kenal sebagai begundal yang dibenci oleh orang-orang di kampung halamannya sendiri di pinggiran Amazon sana. Orang-orang kampung itu memberinya julukan Anak Haram Amazon. Julukan ini mulai muncul saat ia membelot menjadi pelaut Kerajaan Kastilla. Tiga orang lain tampaknya pelaut yang jadi abdi setia Kerajaan Kastilla. Batang hidung si nakhoda pengkhianat itu tidak ikut muncul. Ia mencoba mengirim lelucon yang tak lucu berupa surat kepada imam besar yang isinya, “tinggalkan benteng ini atau kami ratakan dengan tanah!”.

Nakhoda bangsat itu memang sudah menjelajah berbagai samudera dan mengunjungi hutan-hutan buas, tapi ia tidak tahu apa-apa soal Benteng Suci. Seluruh bajak laut Benua Biru pulang dengan kemaluan lemas beberapa abad yang lalu. Termasuk nenek moyang bangsa penyuplai dana pelayaran Ferdinand Si Pincang yang pulang akibat tipuan pesan palsu atas nama rajanya. Mungkin akibat kepongahan nakhoda pincang itu, ia tak tahu bahwa benteng ini dilindungi Tuhan dengan mengirim Imam Besar Bernama Ronaldo, yaitu diriku sendiri.

Walaupun statusku adalah imam besar, tapi membaca surat perintah yang lancang begini bikin aku meremasnya hingga terbentuk rongga untuk menampung ludah kentalku. Aku lempar remasan kertas itu ke wajah Anak Haram Amazon. Ia sengaja tidak menghindarinya, hanya mendesis. Wajahnya yang berewok seperti memberi tanda bahwa ia pernah menghamili adik perempuannya sendiri.

Aku segera mengimbau seluruh ummatku agar tetap berada di dalam benteng saat orang-orang kiriman itu kembali ke kapalnya. Aku menyuruh beberapa murid yang dapat diandalkan untuk menyiapkan amunisi meriam. Tiga buah meriam sudah dipasang di lubang benteng. Persediaan senjata yang terbatas ini membuat kami harus efektif ketika melakukan serangan balik.

Dua hari sudah berlalu, mereka belum juga melancarkan serangan. Aku penasaran apa yang jadi sebabnya. Dari laporan mata-mataku, mereka masih berdebat soal strategi penyerangan. Tampaknya, kata informanku, ada beberapa kelompok pelaut yang tidak setuju pelayaran mereka dipimpin manusia dari bangsa lain sehingga berujung pada perdebatan yang tak perlu.

Mereka yang memendam rasa benci pada si nakhoda yang pincang tentunya berada pada kondisi batin yang gampang digoyah. Aku mengumpulkan seluruh ahli kitab yang ada di benteng. Aku memilih empat orang di antara mereka yang punya cara paling aneh dalam berkhotbah dan wajah mereka bisa dibilang mirip dengan para pelaut Kastilla. Aku menyusupkan mereka ke kapal-kapal biadab itu dengan peran masing-masing sebagai pengemis, tukang batu, budak, dan tukang kayu.

Satu minggu setelah aku mengutus para ahli kitab, mereka akhirnya menyerang Benteng Suci. Gampang menduga mereka menggunakan cara bar-bar, yaitu menghujan benteng ini dengan bola-bola meriam. Sial bagi mereka, selama setengah hari menggempur benteng, tak ada satu lubangpun yang tercipta. Aku cepat-cepat mengirim penyampai pesan, agar para ahli kitabku semakin gencar menjalarkan cerita kutukan. Mereka memang sudah lihai bercerita tentang keramatnya Benteng Suci, karena langsung dilindungi oleh Tuhan melalui diriku sebagai perwakilannya, sehingga barang siapa yang kurang ajar mengusiknya, bakal kena kutukan durhaka.

Entah para ahli kitab itu berhasil atau tidak. Yang jelas, Fernando Si Pincang mati di pedang kawannya sendiri. Sementara kapal si nakhoda ditenggelamkan, kapal-kapal yang lebih kecil seketika lari berdendang-dendang memanfaatkan angin timur yang sedang kencang. Aku terpukau dengan aksi para pelaut bayaran itu untuk beberapa saat, tapi kemudian aku berjanji akan berdoa kepada Tuhan, agar pelir mereka busuk, ketika aku menemukan para ahli kitabku terapung di pantai dalam kondisi tak bernyawa.

Dandy IM
Tapak
Imam Besar Bernama Ronaldo Reviewed by Dandy Idwal on Juni 20, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Komentari kalo perlu ...

© 2016 - 2017 Tapak | Mencatat Jejak All Rights Reserved.
Diberdayakan Blogger. Didesain oleh Junion dari Jejak Creativate

Kontak Redaksi

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.