random

Setelah 90 Tahun Sumpah Pemuda, Indonesia Ada Di Mana?

Mungkin karena saking hikmatnya, kita tak terlalu memperhatikan syair lagu Indonesia Raya. Atau mungkin memperhatikan tapi tak menaruh curiga. Bisa jadi juga karena lagu ini biasanya dipakai di acara-acara formal bahkan sakral, sehingga niat curiga sudah terkubur duluan.

Di awal lagu syairnya begini: Indonesia tanah airku / tanah tumpah darahku / di sanalah aku berdiri / jadi pandu ibuku. Sampai sekarang aku masih memendam tanya, kenapa kita, yang jelas-jelas berada di Indonesia, yang nyata-nyata menginjak tanahnya, mesti bersenandung di sanalah aku berdiri? Memangnya Indonesia ada di mana? Frasa di sanalah kan mengindikasikan bahwa sesuatu yang bernama Indonesia itu berada jauh dari tempat kita sedang berdiri dan bernyanyi.

Dari hasil pelacakanku, ternyata lagu ini berkumandang pertama kali saat Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Peristiwa yang dipimpin Soegondo Djojopoespito ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Sumpah Pemuda. Fakta ini bikin aku insaf. Pantas saja pemuda-pemuda itu bilangnya di sanalah aku berdiri. Sebab mereka masih tinggal di Hindia Belanda. Tanah tempat mereka berdiri dan bernyanyi masih wilayah kekuasaan Belanda.

Jadi, Indonesia di benak para pemuda itu masih berupa harapan – untuk tak menyebut imajinasi. Indonesia masih angan-angan. Dan sialnya, yang mengangankan Indonesia ya cuma intelektual-intelektual itu. Cuma para priyayi itu. Cuma golongan menengah ke atas itu.

Angan-angan tentang Indonesia itu kemudian disebar ke segala penjuru mata angin. Benedict Anderson, Indonesianis dari Cornell University, menyebut tersebar luasnya ide tentang Indonesia ini akibat topangan dari kapitalisme media cetak. Teknologi percetakan yang berkembang saat itu membantu ide tentang Indonesia merambah hingga ke pelosok dengan cepat. Ide satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, yang menurut para pemuda-pemuda itu pantas menjadi pupuk nasionalisme, juga menyebar dengan cara serupa.

Penyebaran ide tentang Indonesia ini adalah usaha melangkahkan kaki ke tempat tinggalnya Si Indonesia. Kita tak lagi bilang di sana, tapi di sini. Di sinilah aku berdiri. Tokoh Aku, yang bernyanyi itu, sudah berada di Indonesia.

Baca juga: Mantan Koruptor Boleh Nyaleg   

Kenyataan bahwa sampai sekarang kita masih bilang di sana, berarti kita belum sampai ke Indonesia. Patut dipertanyakan. Mengapa setelah 73 tahun merdeka dan 90 tahun sejak Sumpah Pemuda, kita belum sampai juga ke tempat yang diangan-angankan itu?

Kalau kita pakai ukuran para pemuda yang mengikrarkan Sumpah Pemuda, bahwa putra-putri Indonesia itu bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, akan timbul pertanyaan-pertanyaan menarik. Apakah bangsa Indonesia itu? Kalau tentang tanah air mungkin lebih jelas karena menyangkut batas yang dapat didedah memakai ilmu Geomatika. Bahasa mungkin juga lebih benderang, meskipun ada beberapa persoalan yang kalau dijelaskan di sini akan terlalu panjang. Tetapi bangsa? Apakah bangsa Indonesia itu cukup bisa dibilang sebagai kumpulan dari berbagai suku dan etnis yang ada di Indonesia? Apakah bangsa Indonesia itu adalah mereka-mereka yang dulunya punya kesamaan nasib dijajah Belanda? Apakah mengenali bangsa Indonesia cukup berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah?

Sekali lagi, seperti yang aku bilang di awal, gagasan mengenai Indonesia itu muncul dari para intelektual yang kemudian disebarkan. Proses penyebaran ini tak selesai waktu Indonesia merdeka. Sebab peristiwanya bukan Soekarno bikin broadcast proklamasi di WhatsApp Group lalu semua anggotanya merespon emoji jempol.

Baca juga: Kiat Menghadapi Perpecahan di Medsos 

Menurut Prof. Faruk, guru besar Fakultas Ilmu Budaya UGM, berbagai pemberontakan di masa-masa awal kemerdekaan, seperti PRRI/Permesta, Darul Islam/NII, dan RMS, mengindikasikan betapa keindonesiaan itu baru sebatas kenyataan politik. Wilayah-wilayah Indonesia di masa itu memang tunduk pada pemerintahan Indonesia yang berpusat di Jakarta. Tapi keindonesiaan, kebudayaan Indonesia, dan nilai-nilai yang digaungkan oleh Sumpah Pemuda, belumlah dihayati dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Sialnya, pemerintah Indonesia tak sabar menghadapi kenyataan pada masa transisi ini. Masalah-masalah pemberontakan itu, seperti kita ketahui bersama, diselesaikan dengan cara represif. Dengan kekerasan. Padahal, cara-cara seperti itu hanya akan kembali menghasilkan persatuan politik semata. Yang dipadamkan memang akhirnya menyerah. Mereka mengaku kalah. Tapi apakah rasa benci, hasrat yang tak terpuaskan, dan keinginan untuk menjadi diri sendiri akan hilang begitu saja? Ini seperti yang dialami Belanda di Aceh pada awal abad ke-20. Belanda memang akhirnya memenangkan Perang Aceh yang lamanya 31 tahun itu pada 1904. Kesultanan Aceh menyerah. Tapi rakyat Aceh tak menerima begitu saja kenyataan politik yang terjadi. Mereka bahkan berani menjadi martir untuk membunuh secara acak orang-orang kulit putih yang berkeliaran di Aceh.

Rezim orde baru memang terkesan stabil. Tapi kestabilan itu bagai kita sore-sore memandang laut yang tak berombak tapi isinya ada ikan ganas yang siap memangsa ikan-ikan lain yang bertingkah. Rezim yang berdiri kokoh atas dasar pembantaian terhadap saudara-saudaranya sendiri ini akhirnya hanya mencapai kesatuan semu. Dan akhirnya kesatuan itu kembali retak ketika rezim ini runtuh.

Baca juga: Mengenal Madura Lebih Jauh: Identitas yang Tak Selesai 

Di masa reformasi ini, saat semua orang atau kelompok leluasa mengekspresikan identitasnya, apalagi dengan topangan teknologi digital, jangan dikira tugas kita bersama semakin mudah. Sungguh lucu apabila pemerintah masih saja memakai narasi begini: oke, kita beragam ya... Indonesia ini terdiri berbagai suku lho, ada Bugis, Minang, Dayak, Jawa, Madura, Sunda dan seterusnya sampai kau capek ngetiknya... banyak juga agama-agama dan kepercayaan... ragam bahasanya juga melimpah lho... jadi, yuk kita hidup bersama menjaga keberagaman ini. Sementara itu, ketidakadilan ruang hidup terus terjadi dan ketimpangan semakin menganga. Misalnya seperti kasus Suku Anak Dalam yang akhirnya terpaksa masuk Islam biar mendapatkan KTP untuk memperbaiki kualitas hidupnya yang telah jauh menurun akibat ekspansi perkebunan yang merambah hutan-hutan mereka. Ketika perasaan terpinggirkan terus terasa, lalu yang digaungkan malah seruan klise semacam itu? Fak you lah!

Ketidakadilan urusan perut adalah pintu masuk yang lebih bijak untuk memindai peristiwa konflik agama, suku, etnis, dll. Sentimen antargolongan lebih bisa dibilang sebagai bahan bakar yang ampuh untuk membakar emosi. Apakah konflik Madura-Dayak karena sentimen etnis semata? Atau karena ada ketimpangan ekonomi antara orang yang lebih dulu menghuni kawasan itu dengan yang kemudian datang? Apakah sebelumnya pemerintah sudah melakukan sesuatu yang strategis agar masyarakat Dayak juga dapat meningkatkan taraf hidupnya? Lalu bagaimana dengan fenomena di Papua?

Pada peringatan hari Sumpah Pemuda ini bolehlah kita mengirim pesan gaib ke pemuda-pemuda generasi ‘28. Kita juga belum sampai di Indonesia kok. Indonesia masih terpisah oleh suatu jarak dengan tempat kita berdiri. Semoga kelak kita bisa sampai di sana.

Dandy IM
The Tapak
Setelah 90 Tahun Sumpah Pemuda, Indonesia Ada Di Mana? Reviewed by Dandy Idwal on Oktober 27, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Komentari kalo perlu ...

© 2016 - 2017 Tapak | Mencatat Jejak All Rights Reserved.
Diberdayakan Blogger. Didesain oleh Junion dari Jejak Creativate

Kontak Redaksi

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.