random

Tidak Semua Anak Kecil Mendambakan Tongkat Sihir

Amrawi tersinggung membaca cerita seseorang yang mendambakan tongkat sihir Harry Potter di masa kecilnya. Ia seakan terpental ke masa 16 tahun silam, saat ia SD, dan sialnya, yang ia ingat adalah deretan suasana menyedihkan.

Ia pertama kali tahu ada film berjudul Harry Potter dari iklan di televisi. Tayangan pendek di layar kaca itu sejenak memikatnya, tapi ditutup dengan suara orang tua yang cukup berat: saksikan di bioskop kesayangan Anda. Amrawi mencari botol minuman ringan yang isinya baru saja ia tandaskan. Untungnya, botol itu tidak ia temukan. Kalau tidak, layar televisi di depannya sudah kena hantaman botol plastik.

“Biar kuceritakan bagaimana kau bisa mencapai bioskop kesayangan itu dari sini, Pak Tua!” teriak Amrawi sambil menunjuk-nunjuk layar televisi. “Mula-mula, malam ini kau harus keluar rumah menuju tepi pantai. Melihat dan merasakan embusan angin. Memperbesar lubang kuping demi mendengar bunyi gulungan ombak. Lalu bertanya ke tetangga apakah besok pagi perahu Putera Samudera jadi berangkat ke Pulau Madura. Kau harus memastikan itu pada salah satu awak Putera Samudera, karena malam ini sungguh laut meraung-raung. Omongan tetangga yang penuh kira-kira itu tidak selalu harus kau percaya. Dan, kalau kau benar-benar sayang sama nyawamu, mestinya kau mendatangi rumah syahbandar yang berada di desa sebelah untuk memastikan apakah tidak ada larangan perahu berlayar besok pagi. Kau tahu, seluruh pelaut di sini mendapatkan tetesan genetik yang memungkinkan mereka berpikir bahwa laut beserta gulungan ombak di dalamnya bagai kamar tidur yang dipenuhi guling. Setelah mendapat kepastian dari syahbandar, kau bisa mempersiapkan bekal yang diperlukan dan berharap semoga tidurmu tidak diganggu oleh bayangan perahu yang bergoyang-goyang agar tak membuatmu mual di atas kasur.”

Putera Samudera berangkat pukul 8 pagi. Namun, setelah sembahyang subuh Amrawi tidak boleh tidur lagi. Ibunya memperingatkan, ia mesti buru-buru mandi lalu memakai kemeja, sarung, dan songkok hitam. Dengan mengendarai sepeda motor tua yang dibeli kakeknya di Tuban, ia melewati jalanan berbatu yang belum diaspal menuju ke kuburan. Tangan kirinya sambil memegang kemudi juga mencengkeram sapu lidi. Ada enam kuburan yang ia sambangi. Setelah menyapu dedaunan kering di atas gundukan itu, ia berkomat-kamit sambil menadahkan tangan ke langit. Selesai berkomat-kamit, dalam hati ia memohon arwah yang ia doakan ikut mendoakan keselamatannya selama perjalanan di laut dan juga mendapatkan apa yang ia impikan. Ia melakukan aktivitas yang sama sampai kuburan keenam. Amrawi sebetulnya tidak seluruhnya tahu siapa yang berada di dalam kuburan itu. Hanya beberapa. Yang jelas kuburan-kuburan itulah yang dihampiri orang tuanya setelah sembahyang Idul Fitri.

Sepulang dari kuburan ia berkeliling ke rumah tetangganya satu per satu. Ia pamitan. Para tetangga yang masih terhitung kerabat Amrawi ini ada yang memberinya uang ada yang tidak. Amrawi mencium tangan mereka, satu per satu.

Amrawi sudah sarapan pagi. Makanannya sederhana saja: nasi jagung, turi sambal kacang, dan ikan tongkol goreng. Seluruh hidangan itu sudah dibacakan doa dengan diiringi asap kemenyan oleh bapaknya sebelum ia makan. Tak lupa, ibunya sudah mempersiapkan sebungkus nasi dengan sayur dan lauk yang sama agar ia tak perlu beli makan ketika tiba di Pulau Madura.

Amrawi akhirnya bisa berangkat ke pelabuhan setelah melewati pintu depan rumah dengan cara merangkak di bawah kedua kaki ibunya yang berdiri di bawah pintu. Keningnya pun sudah dicium ibunya sehabis dia merangkak.

“Bagian aku di atas perahu tidak menarik untuk aku ceritakan padamu, Pak Tua,” suara Amrawi sudah mereda. Dan ia tak lagi berdiri sambil menunjuk-nunjuk layar televisi. Kini ia bersila di atas tikar daun siwalan. “Isinya hanya badanku yang tergeletak di atas perahu, meringkuk, berpegangan ke ransel yang sekaligus jadi bantal, tapi tak kuasa juga digoyang-goyang gulungan ombak. Pernah kau bayangkan seperti apa suara perahu kayu yang menghantam ombak besar? Aku yakin Pak Tua yang terkesan berwibawa sepertimu juga akan gemetar mendengarnya: bagai rangkaian kayu yang tertabrak karang. Bahkan aku sudah membayangkan perahu ini pasti sudah bocor dan aku harus menyimpan banyak-banyak oksigen di paru-paruku demi bisa bertahan selama mungkin di dalam air,” belum sepuluh detik, Amrawi sudah mengingkari omongannya sendiri.

Pak Tua di dalam televisi belum boleh berbahagia meski Amrawi sudah tiba di Pulau Madura sehingga sudah bisa menonton Harry Potter di bioskop. “Di setiap sudut Pulau Madura tidak ada bioskop, Pak Tua!” nada Amrawi kembali tinggi. “Aku haru kembali berdiam diri di atas bus selama 4 jam agar sampai di Pelabuhan Kamal. Ditambah 1 jam menunggu bus masuk kapal. Lalu kapal berangkat ke pesisir Surabaya 1 jam. Dan ya, kemudian aku pun bisa mencari bioskop. Itu pun kalau kedatanganku tepat pada jam pemutaran. Kau belum memberikan jadwal pemutaran di Surabaya, bukan?”

Amrawi pesimis Pak Tua tidak paham dengan kondisinya karena sedari tadi tidak menanggapi. Malah dengan kurang ajarnya suara Pak Tua muncul kembali dengan anjuran yang sama: saksikan di bioskop kesayangan Anda. Amrawi semakin pesimis karena untuk pergi ke Surabaya, ia harus bolos sekolah meski berangkat di akhir pekan. Orang tuanya tak akan mengizinkan. Lagi pula ia tak berani ke Surabaya sendirian.

Raden Kalonx
Tidak Semua Anak Kecil Mendambakan Tongkat Sihir Reviewed by Dandy Idwal on Januari 12, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Komentari kalo perlu ...

© 2016 - 2017 Tapak | Mencatat Jejak All Rights Reserved.
Diberdayakan Blogger. Didesain oleh Junion dari Jejak Creativate

Kontak Redaksi

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.