random

Ingin Membangunkan Sahur Tapi Diusir

Sumber: konfrontasi

Setelah salat tarawih dan tadarus, saya dan teman-teman sudah menyiapkan berbagai bahan yang dibutuhkan untuk membuat rujak. Ada mangga muda, kedondong, petis, cabai, dan cuka. Tak lupa berbagai peralatan kami siapkan, seperti cobek, piring, pisau, dan ulekan. Rujakan di malam yang dingin memang sangat menggiurkan. Kami, sekumpulan anak-anak SD, membuat sendiri rujak tersebut tanpa bantuan orang tua atau kakak-kakak.

Rujakan ini menghabiskan waktu yang cukup lama. Karena kami juga sambil bermain kartu. Tak terasa malam telah semakin kelam. Tetapi angin laut masih saja bertiup kencang. Angin itu membawa bau asin yang sering kali mengganggu hidung. Untunglah, rujak malam itu begitu panas sehingga membuat hidung kami tetap longgar.

Karena merasa hari sudah bergeser ke dini hari, kami beranjak mengambil peralatan angklung. “Sudah hampir sahur,” kata salah satu teman. Ada yang bertugas mengambil beberapa bilah bambu yang tengahnya dilubangi. Kami menyebutnya angklung. Ada yang mengambil kerincingan. Teman yang lain mengambil bilah bambu yang lain tapi ukurannya berbeda. Ketika ditabuh nadanya akan bergaung di tangga nada yang berbeda. Kami membuat alat penabuh dari sebilah bambu seukuran jari tengah tangan yang ujungnya diberi potongan sandal berbentuk lingkaran. Sandal-sandal yang kami potong didapatkan dari laut. Sandal-sandal itu terdampar dan bergoyang-goyang diterpa ombak bulan Ramadhan.

Saya bagian menabuh jidur. Ini adalah alat musik yang terbuat dari gerabah yang dipasangi ban dalam mobil di bagian mulutnya. Untuk memainkan alat ini, dibutuhkan alat penabuh yang lebih besar dengan lapisan potongan sandal yang lebih besar pula. Cara membawanya, alat ini dimasukkan ke dalam buntalan sarung dan diselendangkan ke badan.

Dengan berbagai alat tempur tersebut, kami mengelilingi kampung untuk membangunkan orang agar segera memasak makanan sahur. Kami hanya mengandalkan kaki-kaki imut kami untuk melalui jalan setapak yang becek di beberapa bagian. Malam sungguh semakin kelam. Kami hanya melihat gulita. Memang daun-daun pohon terlihat sedikit-sedikit. Untungnya, kami punya satu senter lawas yang jadi penerang jalan.

Kami tidak langsung menabuh peralatan yang kami bawa. Kami berjalan agak jauh terlebih dahulu. Harapannya, kami menjangkau rumah warga yang jauh lebih dulu. Orang-orang di pinggiran sungai itu mungkin susah untuk bangun karena mereka telah bekerja keras seharian. Pikir kami waktu itu.

Setelah sampai di rumah paling ujung di kampung itu, kami mulai menabuh. Tanpa diikuti suara-suara mulut. Kami hanya memukul-mukul barang yang kami bawa masing-masing, dengan cukup semangat. Kami percaya bahwa yang kami lakukan sangat berguna bagi orang-orang dan akan mendapatkan pahala yang banyak. Dan pada akhirnya, kami bisa masuk surga dengan cepat, secepat kilat. Setidaknya begitu kata guru-guru di madrasah.

Setelah beberapa langkah asyik menabuh angklung, sambil menikmatinya dengan mengangguk-anggukkan kepala, tiba-tiba ada bunyi keras di samping. Kami berhenti sejenak. Kaget akan hal itu. Tetapi kami lanjut menabuh lagi karena kami kira itu hanyalah kambing gila yang sedang lapar. Setelah beberapa langkah lagi, bunyi keras itu muncul lagi dan diikuti suara manusia.

“Hooi... bocah kecil... ini masih terlalu sore... berisik!” suara itu semakin dekat dan semakin dekat. Ada beberapa batu yang mengenai pohon-pohon di sekitar kami. Orang itu melempar batu! Kami lari pontang-panting. Untung saya tidak tersandung sehingga jidur yang saya bawa aman-aman saja. Kita sesak nafas ketika telah sampai kembali di tempat awal, rumah seorang teman. Lalu kami menengok jam dinding, penasaran. Ternyata jarum jam masih menunjuk ke angka 12 malam.
Ingin Membangunkan Sahur Tapi Diusir Reviewed by Dandy Idwal on Mei 28, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Komentari kalo perlu ...

© 2016 - 2017 Tapak | Mencatat Jejak All Rights Reserved.
Diberdayakan Blogger. Didesain oleh Junion dari Jejak Creativate

Kontak Redaksi

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.