random

Bunga Sepatu yang Terlambat Dicintai

Sumber: Flickr
Di halaman rumahku ada bunga sepatu. Bentuknya aneh. Tidak ada cantik-cantiknya sama sekali. Ketika main kuda-kudaan dari ruas daun pisang, sambil memegang pedang bambu, aku menebas daun-daun bunga sepatu itu. Sesekali juga kutebas bunganya. Paling kusuka ketika pedang bambuku kena tepat di gumpalan bunga itu. Robek dan berhamburan helai-helainya. Diriku senang-senang saja karena bunga itu tak berguna. Yang ada malah mencemari halaman rumah.

Pernah suatu ketika kutebas beberapa batang. Satu-dua tangkai telah berbunga. Kuikat tangkai-tangkai itu di tali layang-layang yang sudah naik diterpa angin. Bagiku bunga sepatu itu memang lebih pantas diikat di tali layang-layang. Biar diterpa dinginnya angin di angkasa. Biar tidak bermanja-manja saja di bawah pohon mangga yang lebat. Biarlah mahkota bunganya dirusak angin yang sedang ribut. Sudah terlalu lama ia menerima perlakuan terlalu enak dari ibu. Ia belum pernah merasakan betapa ganasnya dunia di luar dekapan mangga yang lebat.

Kupikir bunga sepatu di halaman rumahku adalah bunga yang paling manja di dunia. Aku heran kenapa Tuhan mau-maunya bikin bunga pemalas seperti itu. Dan aku lebih heran kenapa ibu mau-maunya menanam bunga itu di halaman rumah.

Setelah berminggu-minggu memendam kesal, aku pergi ke Pasar Jumat. Aku mengitari para penjual bunga. Lihatlah, banyak sekali bunga yang lebih cantik, meriah, dan penuh pesona. Mengapa ibu malah memilih bunga sepatu itu?

Kubeli beberapa bibit bunga yang lebih elok. Aku menanamnya tepat di samping bunga yang selama ini aku benci. Supaya orang-orang yang lewat di samping rumahku tahu bahwa bunga pilihanku lebih manis daripada pilihan ibu. Agar kupu-kupu yang sering berputar-putar di halaman juga punya tempat rebahan yang lebih menyenangkan. Daripada terus-terusan mengandalkan bunga sepatu yang banyak racunnya.

Setelah beberapa hari para kupu-kupu memberitahuku betapa mereka sangat setuju denganku. Mereka mengerumuni bunga yang aku tanam bahkan sebelum bunga itu bermahkota. Para kupu-kupu berputar-putar di pucuk bunga itu ketika aku muncul dari dalam rumah untuk menyapu halaman. Mereka menari-nari kegirangan. Esoknya, mereka bahkan membawa beberapa kepompong untuk ditempelkan ke beberapa tangkai yang sudah cukup kokoh.

Para kupu-kupu tampaknya tidak ingin dibilang egois. Mereka akhirnya juga memberi tahu para lebah kalau ternyata ada bunga yang begitu elok di halaman rumahku. Kedatangan para lebah membuatku semakin yakin bahwa pilihan orang tua itu tidak selalu baik. Memang seharusnyalah orang tua membebaskan anak-anaknya untuk bebas memilih apa-apa yang ia suka. Termasuk dalam mencintai bunga.

Sudah bukan zamannya lagi dong . . . kesukaan diarahkan sama orang tua. Mereka sudah ketinggalan zaman. Soal selera bunga saja sudah sangat jauh sekali ketinggalannya. Apalagi hal-hal yang lain. Tujuan hidup, misalnya. Kalau diminta nyebut beberapa profesi yang menjanjikan di zaman sekarang, pasti pilihan-pilihan mereka sudah tidak relevan.

Ibu dari tadi hanya mendengarkanku bergumam. Ia sepertinya pura-pura tidak mendengar celotehanku dengan tetap fokus mencabut rumput-rumput liar di halaman rumah. Ia tidak berpindah cukup lama ketika mencabut rumput di sekitar bunga sepatu itu. Ia ternyata juga menata batu-batu kecil di sekitar batangnya. Selama menyusun batu ia menanggapi perkataanku. Ia bilang bahwa bunga sepatu adalah simbol dari ketenangan. Sebab ia sudah mencapai keseimbangan dalam hidup. Jadi sudah tidak perlu berulah lagi, atau mengejar mimpi-mimpi yang tidak jelas. Daripada memperjuangkan keinginan-keinginan yang jauh dari kenyataan. Daripada terus-terusan setia pada pikiran yang semakin enggan menerima kenyataan yang ada.

Aku begitu kesal dengan penjelasan ibu yang modelnya begitu-begitu saja. Penuh dengan pengandaian-pengandaian yang tidak masuk akal. Apa hubungannya coba bunga sepatu sama ketenangan. Akhirnya kupetik beberapa bunga sepatu itu pada suatu senja di hari Kamis. Aku bakar bunga-bunga itu di wadah kemenyan yang terbuat dari genteng. Ibu memang setiap malam Jumat mengasapi pojok-pojok rumah dengan kemenyan. Aku membayangkan roh bunga sepatu itu akan pergi bersama asap yang melambung ke udara dan jin yang lari dengan badan menggigil.

Esoknya, bunga sepatu depan rumah hangus terbakar seluruhnya. Bunga-bunga yang kutanam di sampingnya menjadi layu dan beberapa hari kemudian menjadi kering dan rontok seluruh daunnya.

Dandy IM // tapak.in
Bunga Sepatu yang Terlambat Dicintai Reviewed by Dandy Idwal on Mei 05, 2017 Rating: 5

2 komentar:

Komentari kalo perlu ...

© 2016 - 2017 Tapak | Mencatat Jejak All Rights Reserved.
Diberdayakan Blogger. Didesain oleh Junion dari Jejak Creativate

Kontak Redaksi

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.