Ajaran Ki Hadjar Dewantara Terlaksana di SMA Taruna Nusantara
Siswa TN berfoto bersama Brigjen TNI Purn Bambang Sumaryanto, SE MM (Kepala Sekolah 2011-2013) setelah upacara peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus. |
Ki Hadjar Dewantara membayangkan bentuk pendidikan Indonesia
yang tidak anti-manusia. Perjalanan hidupnya selama diasingkan ke Belanda dijadikan
kesempatan untuk belajar berbagai konsep pendidikan, terutama yang ditawarkan
oleh negara-negara Barat, melalui para pemikirnya. Selama proses belajar, Ki
Hadjar akhirnya sadar, bahwa konsep-konsep pendidikan yang sedang ia pelajari
di benua seberang tidak serta-merta cocok bila diterapkan di Indonesia.
Konsep pendidikan yang tidak anti-manusia didasari pemahaman
bahwa proses pembelajaran harus disertai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Para
pembelajar bukanlah bahan produksi sebuah lembaga pendidikan yang disiapkan
untuk bursa tenaga kerja. Mereka adalah manusia. Mereka punya emosi dan
ketertarikan yang sungguh beragam. Mereka berkeluarga, punya bapak, ibu, istri,
saudara, kakek, nenek, sepupu, paman, yang kesemuanya tak bisa dilepaskan dari
proses pendidikan. Singkatnya, seperti pelajaran di sekolah dasar, proses
pendidikan selain di sekolah juga berlangsung di ranah keluarga. Sebuah lembaga
pendidikan yang tega memisahkan nilai-nilai keluarga dari proses
pembelajarannya, berarti ia telah menjadi anti-manusia.
Meskipun negeri ini mengakui Ki Hadjar sebagai Bapak
Pendidikan Nasional, tetapi hampir semua lembaga pendidikan hari ini
anti-manusia. Tiap-tiap pelajar dianggap sebagai individu, bukan sebagai
manusia yang punya hubungan erat dengan masyarakat. Lembaga pendidikan sering
kali acuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Seakan-akan hubungan di lembaga
pendidikan hanyalah sebuah transaksi keilmuan belaka.
Bukti nyata hasil perjuangan Ki Hadjar adalah berdirinya
Perguruan Nasional Taman Siswa pada tahun 1922. Taman Siswa sangat penting pada
masa itu karena ia adalah sebuah antitesis (perlawanan) terhadap sistem
pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial. SMA Taruna Nusantara
(TN) didirikan setelah Taman Siswa dan TNI sepakat mendirikan Lembaga Perguruan
Taman Taruna Nusantara (LPTTN). Sehingga, nilai-nilai pendidikan yang
dikembangkan di Taman Siswa sangat berpengaruh besar pada proses pembelajaran
di TN.
Bila kita perhatikan asas-asas Taman Siswa 1922, salah satu
poin yang ditekankan adalah Amongsysteem,
yaitu konsep pengasuhan yang melebihi definisi guru. Dalam konsep ini, para
pengasuh tidak disebut guru, tetapi pamong. Begitu pula di TN. Para siswa
menyebut para orang tua yang menemani mereka belajar sebagai pamong. Hubungan
mereka tidak hanya sebatas guru dengan murid, tetapi sudah seperti orang tua
dan anak.
Ketika Universitas Gadjah Mada (UGM) mengubah fungsi
perumahan dosen menjadi berbagai macam pusat studi, TN tetap mempertahankan
pola perumahan pamong yang mengelilingi asrama siswa. Ini membuat interaksi
siswa TN dengan pamong tidak hanya di dalam kelas. Tiap-tiap siswa bisa langsung
menanyakan materi pelajaran yang tak ia pahami di dalam kelas dengan berkunjung
ke rumah pamong, yang bersebelahan dengan asrama. Tentu saja, pada akhirnya,
tidak hanya persoalan-persoalan akademis yang dibahas. Hal-hal lain yang
berkaitan dengan kehidupan, perilaku, kegalauan hati, sampai pada persoalan
perut turut diperbincangkan karena pamong terkadang memasakkan sesuatu untuk
siswa. Obrolan di ruang tamu rumah pamong itu berlangsung sangat cair. Itu adalah
interaksi antarmanusia, bukan sekadar pemberi ilmu dan penerima ilmu.
Dulu, ketika di TN, saya punya seorang teman. Sebut saja
namanya Si Cocot. Otaknya mungkin terlalu aktif dan kreatif. Sehingga, sering
kali ia tak puas dengan pembelajaran Kimia di kelas. Ketika ia melanjutkan
belajar di Graha, sendirian, dan lagi-lagi belum merasa puas, ia langsung
beranjak ke rumah pamong Kimia. Tak hanya sekali ia melakukannya. Dalam seminggu
bisa berkali-kali. Bisa sore tapi bisa juga malam-malam. Menariknya, pamong itu
sama sekali tidak merasa terganggu dengan kelakuan teman saya itu, meski pintu
rumahnya jadi sering diketuk. Pamong itu bahkan sangat senang. Ia berusaha
semaksimal mungkin untuk memuaskan berbagai pertanyaan yang dilontarkan oleh Si
Cocot.
Interaksi semacam inilah yang diimpikan oleh Ki Hadjar. Menurut
beliau, seorang pamong harus menemani siswanya dalam mengembangkan pikiran,
hati, dan jasmani. Kalau perlu ditemani selama 24 jam. Bagaimana bisa seorang
pamong menemani perkembangan anak didiknya bila tidak tinggal bersama?
Menurut Ki Hadjar, pamong juga harus mampu menjadi pemimpin
yang berdiri di belakang para siswanya, atau dalam bahasa bekennya: Tut Wuri
Handayani. Di istilah ini terkandung semangat untuk membuat para pemuda merdeka
dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya. Seperti semangat Taman Siswa
untuk mengganti model pendidikan kolonial yang penuh perintah, hukuman, dan
paksaan. Para siswa dibiarkan memilih secara merdeka apa-apa yang menjadi
ketertarikannya.
Citra TN sebagai sekolah semimiliter memang meninggalkan
kesan sebagai sebuah lembaga pendidikan yang menerapkan metode pemaksaan. Mungkin
dengan hanya mendengar sekilas bahwa di TN penuh dengan kegiatan-kegiatan
fisik. Tetapi yang terjadi jauh berbeda. Pemaksaan terjadi ketika seseorang
yang menjadi pembimbing tidak tahu kondisi anak-anak yang dibimbingnya. Di TN,
para pamong sangat dekat dengan siswa. Sehingga, mereka tahu kemampuan
tiap-tiap anak didiknya. Hal ini membuat mereka bisa secara bijak menentukan
sampai batas mana seorang siswa dapat mengikuti pelatihan jasmani. Mereka paham
siswa mana yang butuh bimbingan khusus, dan mana yang perlu didorong untuk
berkembang lebih lanjut. Begitu pula interaksi sesama siswa. Inilah yang
dimaksud proses pendidikan yang tidak anti-manusia. Setiap manusia punya
keunikan masing-masing, yang perlu dikenali. Lembaga pendidikan yang
anti-manusia tidak akan peduli soal itu.
Ajaran Ki Hadjar Dewantara Terlaksana di SMA Taruna Nusantara
Reviewed by Dandy Idwal
on
April 03, 2017
Rating:
Tidak ada komentar:
Komentari kalo perlu ...