Lebih Memilih Langkah Damai untuk Menyelesaikan Konflik
Ilustrasi: Damien Weighill |
Dalam rangka memberikan informasi
mengenai kondisi kekinian perlindungan dan pemenuhan hak atas Kebebasan
Berkeyakinan dan Beragama (KBB) di Indonesia, saya sebagai perwakilan mantan
anggota Gafatar, juga sebagai perwakilan pengikut Millah Abraham, hendak memberikan
kesaksian, mengenai problematika pelanggaran KBB dan intoleransi, dengan
keterbatasan-keterbatasan atas akses informasi yang ada. Peristiwa di Kabupaten
Mempawah, Kalimantan Barat, adalah tragedi kemanusiaan yang terjadi di awal
tahun 2016 lalu.
Masalah
Ironisnya, para sahabat kami, didakwa
atas pasal penodaan agama dan makar (Mahful Muis terdakwa 1, Abdussalam
terdakwa 2, dan Andry Cahya terdakwa 3) yang notabene termasuk korban dari
sikap intoleran. Mereka justru dikriminalisasi sehingga harus mendekam di
penjara selama 5 tahun, yang diputuskan oleh Majelis Hakim 11 hari yang lalu di
Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Sangat disayangkan, tidak ada upaya
hukum sedikit pun terhadap massa datangan yang telah melakukan pengusiran
paksa, penjarahan, dan pembakaran aset kami. Padahal, sangat jelas bahwa mereka
adalah orang-orang yang terorganisir. Bukanlah hal yang sulit bagi pemerintah
untuk menemukan siapa dalang utama dari kasus tersebut. Apabila metode
diskriminatif ini dibiarkan terus-menerus, maka akan selalu membuka ruang bagi
kaum intoleran untuk mengulangnya kembali.
Pemda Kalimantan Barat (Kalbar) tidak
bersedia menerima mantan anggota Gafatar datang kembali ke daerahnya. Padahal
setiap warga negara berhak memilih tempat tinggal di wilayah negaranya. Dapat
dikatakan bahwa fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalbar, fatwa MUI pusat, tingginya
intensitas media yang menyudutkan, serta Surat Keputusan Bersama (SKB) 3
menteri, mempunyai pengaruh besar terhadap sikap Pemda Kalbar, juga
aparat-aparat pemerintah di wilayah lainnya, serta masyarakat pada umumnya.
Fatwa-fatwa tersebut diterbitkan setelah pembakaran dan dalam proses pengusiran
paksa.
Hanya karena opini masyarakat dan
pemberitaan yang subyektif dan provokatif oleh beberapa media, mulai dari isu
penculikan, isu ajaran sesat, isu eksklusifitas, hingga isu makar, belasan ribu
jiwa anak-anak bangsa yang harusnya dilindungi hak-hak asasinya, justru dilanggar
dan dirampas hak-haknya. Bahkan, 3 para sahabat kami harus hidup terpisah dari
keluarganya selama 5 tahun dan 3 tahun untuk terdakwa 3, hanya karena mereka
memiliki pemahaman yang berbeda yang tidak pernah disampaikan di muka umum.
Respon pemerintah
Mengenai respon pemerintah terhadap
masalah-masalah yang kami hadapi di atas, pemerintah telah melakukan tindakan
yang keliru. Terjadi pemaksaan atas keyakinan mainstream yang sempat tercatat di Madiun, Cimahi dan Barito
Selatan, Kalimantang Tengah (Kalteng). Di sini terlihat, tidak diberikannya
ruang bagi kami untuk menjelaskan dan berdiskusi dengan pihak-pihak yang
terkait. Tidak pernah ada respon terhadap permohonan dialog atau mediasi yang
kami kirimkan kepada MUI Pusat dan institusi pemerintah. Yang terjadi justru
pemanggilan oleh pihak kejaksaan dan pihak kepolisian, dengan hanya
mengandalkan informasi yang sedikit dan asumsi yang seharusnya diverifikasi
terlebih dahulu. Persoalan ini semestinya tidak langsung ditindak dengan hukum
pidana, karena masih banyak langkah-langkah damai yang bisa dilalui.
Tindakan kriminalisasi, penganiayaan,
pembakaran, pembunuhan, pengusiran dan tindak kekerasan terhadap kelompok
manapun dengan alasan ‘’penodaan agama’’ walaupun didukung oleh Fatwa MUI dan
SKB 3 Menteri, merupakan pelanggaran serius terhadap HAM, UUD 1945, dan
Pancasila.
Tanggapan Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kalimantan Timur (Kaltim) masih dalam kondisi tidak menyukai mantan
anggota Gafatar dan berharap segera pindah dari Kaltim. Rentetan skenario
kejadian yang sengaja dibentuk telah berhasil membuat para terdakwa seolah-olah
adalah penyebab kejadian tersebut, sehingga harus bertanggung jawab.
Kebijakan pemerintah lainnya terhadap
proses peradilan Eks Gafatar adalah, tidak pernah adanya evaluasi setelah SKB 3
Menteri diterbitkan, para terdakwa dipidana atas dasar diskresi!
Praktik-praktik baik
Tentang praktik-praktik baik yang kami
dapatkan informasinya adalah, adanya dialog antarsuku dan umat beragama sebagai
agenda rutin Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Palangkaraya.
Kemudian, hubungan mantan anggota
Gafatar dengan Pemprov Sumatra Utara sangat baik. Terakhir, kami menyurati Badan
Kesejahteraan Pembangunan dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) Provinsi
untuk membantu adminduk anggota Eks Gafatar yang masih belum selesai.
Selain itu, MUI di Kabupaten Sukamara
Kalteng telah menjalin hubungan dengan anggota Eks Gafatar dalam program bidang
kerukunan antarsesama bangsa Indonesia.
Rekomendasi
Rekomendasi
dari kami adalah, pemerintah tetap konsisten terhadap nilai-nilai Pancasila,
khususnya nilai-nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan, dan UUD 1945, khususnya
terkait dengan masalah KBB. Perbedaan pemahaman tidak dijadikan sebagai dasar
untuk menghakimi atau melakukan tindak kekerasan.
Pemerintah
dapat memfasilitasi forum dialog lintas keyakinan yang setara dan bermartabat
dengan mengedepankan cinta kasih, saling menghargai, dan saling berlomba dalam
kebajikan demi keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan bangsa.
Aparat pemerintah dan penegak hukum
harus peka dan tegas terhadap aksi intoleran, khususnya kepolisian dan TNI yang
masih gamang atau tidak sepenuhnya menerapkan perintah dari atas untuk
melindungi dan melayani warganya secara adil dalam bidang keagamaan, politik
dan ekonomi. Bukan melakukan pembiaran, bahkan ikut melakukan aksi serupa
berupa pembatasan kegiatan keagamaan. Selain itu, termasuk perlakuan yang adil
dan obyektif di bidang hukum tanpa mencampuradukkan agama yang diyakininya.
Pimpinan agama-agama, MUI dan pemerintah
seharusnya mengedepankan langkah-langkah sosial berupa dialog dan mediasi,
bukan langkah hukum dengan mengkriminalisasi.
Karena dalam kehidupan beragama di
negara Indonesia yang multi-agama dan aliran, perbedaan keyakinan, perbedaan
pemahaman dan penafsiran atas teks-teks kitab suci, dan perbedaan dalam
praktik-praktik keagamaan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Sehingga
munculnya ketidaksukaan pun adalah hal yang wajar. Yang tidak wajar, jika
ketidaksukaannya diekspresikan dalam bentuk permusuhan, kekerasan atau ajakan
untuk kekerasan.
Kami berkeyakinan, jika praktik-praktik diskriminatif
seperti di atas tidak dapat dihentikan, maka benih-benih perpecahan umat dan
bangsa akan menjadi nyata. Proses kriminalisasi atau pemidanaan atas nama agama
tidak dapat dijadikan solusi, bahkan memperburuk kondisi. Pada akhirnya, yang
dirugikan adalah seluruh rakyat Indonesia, dan menguntungkan pihak-pihak yang
memang ingin selalu melihat bangsa ini tetap dalam kondisi terpuruk, baik
secara moral spiritual maupun fisik materiil.
Demi
keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Wassalam,
Eks
Gafatar
Lebih Memilih Langkah Damai untuk Menyelesaikan Konflik
Reviewed by Dandy Idwal
on
Maret 17, 2017
Rating:
Tidak ada komentar:
Komentari kalo perlu ...