random

Ranieri Dituntut Mempertahankan Keajaiban, Bukan Mempertahankan Gelar


Berita pemecatan Claudio Ranieri bukanlah hal yang mengagetkan. Bagi sebuah tim berstatus juara bertahan yang saat ini hanya berada satu tingkat di atas zona degradasi tentu bukanlah hal yang baik. Tak ayal, manajemen King Power harus mengambil keputusan yang mereka anggap keputusan “tersulit” sejak mereka mengambil alih kepemimpinan di Leicester City FC tujuh tahun silam: memecat Ranieri.

Namun, berita ini bisa jadi mengagetkan jika kita menyadari bahwa Leicester City bukan merupakan tim dengan tradisi juara, skuad juga seadanya, dan lebih sering bermain di divisi championship ketimbang bersua Mancester United di premier league. Ini bukan soal pelatih yang dipecat karena tidak bisa mempertahankan performa timnya di musim lalu, seperti yang pernah dialami Jose Mourinho di Chelsea FC. Ini soal pelatih yang dipecat karena tidak bisa mempertahankan keajaiban!


Jika membandingkan Ranieri dengan Mourinho, manajer Chelsea FC yang bernasib sama dengan Ranieri di putaran premier league sebelumnya, tentu bukanlah perbandingan yang apple to apple. Ketika Chelsea FC menjuarai premier league di musim 2014/2015, tak banyak yang memprediksi Chelsea akan bernasib buruk seperti yang benar-benar mereka alami di musim 2015/2016. Dan karena hal tersebut, Mourinho dianggap sebagai sosok yang harus membayar keterpurukan Chelsea di musim itu dengan dipaksa menerima pesangon dari Roman Abramovich. Namun, apa yang pengamat sepak bola bayangkan di musim berikutnya, ketika Leicester mampu menjuarai liga di musim 2015/2016? Bukankah nasib Leicester saat ini bukan hal yang mengejutkan, apabila The Foxes – julukan Leicester – tidak mampu mengulang “mimpi yang jadi kenyataan” dengan kembali menjuarai liga Inggris?


Ketika Leicester memulai musim kegemilangan mereka di tahun 2015 lalu dengan menjamu Sunderland di markas mereka, King Power Stadium, mungkin belum ada yang mengira bahwa itu kemenangan pertama Leicester dari total 23 kemenangan mereka di musim tersebut dan mengukuhkan diri menjadi juara liga. Di pertandingan itu pula pertama kalinya Jamie Vardy dan Riyad Mahrez menerima bola-bola passing terukur N’Golo Kante yang baru mengawali kiprahnya di premier league. Ketiga nama tersebut tentu bukanlah aset klub yang tersohor layaknya trio MSN milik Barcelona FC ataupun trio BBC-nya Real Madrid. Tetapi trio Vardy-Mahrez-Kante yang ditopang kinerja penuh keringat dari pemain Leicester lainnya, mampu membawa tim antah-berantah ini membuktikan diri bahwa tim manapun berhak bermimpi untuk menjadi yang tertinggi di britania raya, menjadi juara di liga paling populer di dunia.


Leicester tidak hanya menunjukkan bahwa mimpi bisa menjadi kenyataan, tapi juga membuktikan bahwa sesuatu yang bernama kajaiban itu nyata. Tapi, jika ditarik mundur, sosok yang mendatangkan pemain-pemain kunci Leicester di musim lalu seperti Kante, sosok yang menjaga mimpi Jamie Vardy dan kolega untuk terbang setinggi mungkin, dan sosok yang pantas untuk bersuka cita atas kesuksesan Leicester musim lalu adalah Ranieri. Namun, media tidak serta-merta menyorot sosok Ranieri seorang. Agaknya publik setuju bahwa Leicester mewujudkan mimpi menjuarai premier league itu bersama-sama, bukan karena peran satu dua pihak saja.


Akrab dengan momentum magis


Jika masih belum sependapat dengan apa yang saya katakan, bahwa musim lalu merupakan keajaiban bagi Leicester, mari lihat statistik. Leicester mengakhiri liga dengan catatan 23 kemenangan dan 12 hasil imbang, sisanya menelan kekalahan. Angka 81 menjadi poin maksimal yang didapat sebuah tim yang berkompetisi di premier league musim 2015/2016, yaitu milik Leicester sendiri. Dengan raihan tersebut, Leicester tidak bisa dikejar oleh pesaing terberatnya musim itu, Arsenal, yang terpaut 10 angka dari Leicester.

Mari bandingkan dengan juara premier league di tiga tahun terakhir. Chelsea meraih 87 poin di musim 2014/2015. Manchester City finish dengan raihan 86 poin setahun sebelumnya. Manchester United bahkan menjadi juara musim 2012/2013 dengan perolehan poin yang lebih tinggi lagi: 89 poin. Poin yang dimiliki Leicester saat juara bahkan masih kalah dengan raihan Liverpool ketika menjadi runner-up musim 2013/2014. Di samping itu, musim 2015/2016 memang menjadi musim yang kurang baik bagi klub-klub top flight liga Inggris. Namun, benar-benar tidak ada yang menyangka bahwa momentum tersebut justru dimanfaatkan klub yang bahkan di musim 2013/2014 masih bermain di kasta kedua liga Inggris. Bukan klub-klub medioker macam Everton ataupun Stoke City, tapi Leicester! Leicester yang dengan ajaib memanfaatkan momentum keterpurukan klub-klub top fligth liga Inggris.


Leicester memang hanya mengalami tiga kali kekalahan di musim 2015/2016, tapi ajaibnya bisa memuncaki klasemen akhir dengan hasil imbang yang cukup banyak: 12 kali. Meraih 23 kemenangan, namun dengan ajaib membawa pulang trofi liga Inggris dengan 7 kali memenangi pertandingan dengan skor 1-0. Bahkan setelah menghadapi 3 pekan magis yang membuat mereka menuai pujian setelah menghadapi Liverpool, Manchester City, dan Arsenal secara beruntun dan memaksa Liverpool serta Manchester City tertunduk malu, Leicester bak tidak kehilangan dewi fortuna mereka di minggu-minggu berikutnya. Setelah kalah kala melawat ke Emirates Stadium, markas Arsenal, Leicester memenangi lima laga setelahnya dengan skor 1-0 secara beruntun. Bayangkan, dengan statistik tersebut, Leicester tentu tidak sendirian dalam melakoni pekan-pekan sulit itu. Mereka bersama keajaiban.

Lalu, setelah semua keajaiban bak cerita dongeng itu sirna, kenapa harus ada pihak yang disalahkan?

Bukannya mereka mengukir cerita manis di musim lalu bersama-sama dan bukan atas kerja keras satu orang saja? Dan ketika Ranieri tidak mampu menahan keajaiban itu pergi, paling tidak satu musim lagi, tidak ada ampun bagi dirinya yang kenyataannya sudah diberhentikan oleh bos Leicester City, Aiyawatt Srivaddhanaprabha, ketika publik masih ingat betul raut gembira Ranieri saat mengangkat trofi premier league musim lalu. Banyak manajer sepak bola yang mampu mempertahankan performa timnya, atau bahkan mempertahankan gelar juara. Tapi, manajer mana yang mampu mempertahankan keajaiban?
Penulis: Elvan Susilo
Penyunting: Dandy Idwal

Ranieri Dituntut Mempertahankan Keajaiban, Bukan Mempertahankan Gelar Reviewed by Elvan Susilo on Februari 27, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Komentari kalo perlu ...

© 2016 - 2017 Tapak | Mencatat Jejak All Rights Reserved.
Diberdayakan Blogger. Didesain oleh Junion dari Jejak Creativate

Kontak Redaksi

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.