random

Ketimpangan Pemicu Konflik Etnis

Sumber: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM

Beberapa kalangan berpendapat bahwa konflik-konflik etnis yang muncul di berbagai daerah di Indonesia diakibatkan oleh ketimpangan ekonomi. Pendapat ini beranggapan bahwa isu-isu yang muncul semasa konflik hanyalah bahan bakar lanjutan. Penyebab utamanya adalah persoalan ruang hidup. Isu etnis, menurut pendapat ini, hanyalah bungkus saja. Isinya tetap persoalan duit.

Masalah ketimpangan ekonomi yang kemudian meluber menjadi permasalahan etnis bisa dipahami dengan melihat pola perekonomian di Indonesia. Secara garis besar, struktur ekonomi di Indonesia memang masih kental dengan model primordial. Berbagai peluang pekerjaan, promosi jabatan, masih bertumpu pada jaringan etnis dari seseorang. Seperti dapat dilihat pada gejala perpindahan orang-orang di desa. Sebagian besar orang desa mulai pindah ke kota dengan cara ikut orang sedesanya yang sudah sukses terlebih dahulu di kota. Kejadian semacam ini bisa diperhatikan saat arus balik lebaran.

Perekrutan orang sekampung terjadi secara berkelanjutan. Acap kali ada rasa tidak enak ketika tidak mengajak tetangga-tetangga kita untuk ikut ke kota padahal kita sendiri sudah sukses. Namun bisa juga karena memang sedang butuh orang dan kita merasa lebih nyaman untuk mengajak kerabat. Maka terbentuklah bisnis-bisnis di kota yang bercorak bisnis keluarga atau bisa dibilang bisnis etnis.

Kita ambil contoh sebuah pasar. Awalnya, ada beberapa orang desa yang nekat ke kota dan membuka usaha jualan baju. Setelah usaha tersebut berkembang, maka ia mulai butuh karyawan untuk membuka lagi beberapa kios. Kemudian ia mengajak saudara-saudaranya atau tetangganya di desa. Lalu orang-orang yang diajak ini akhirnya juga punya cukup uang untuk membuka kios sendiri. Maka semakin banyak kios-kios dari etnis tersebut di pasar ini. Nah, ketika ada etnis lain yang membuka usaha yang sama di pasar tersebut maka mulai muncullah konflik. Ada anggapan bahwa mereka adalah “orang lain” yang dapat merugikan usaha kita karena berbisnis hal yang sama. Namun, anehnya, jika orang tersebut berasal dari daerah yang sama, hal tersebut tak terjadi. Sebab ada kekhawatiran bila kita bersitegang dengan orang baru tersebut, dampaknya akan terbawa sampai ke kampung halaman. Kasus seperti ini sering terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta.

Apalagi bila suatu etnis yang minoritas dari segi jumlah menguasai sebagian besar aset negeri, maka itu menjadi pemicu kuat timbulnya konflik dari masalah-masalah sepele. Masalah utamanya adalah urusan duit, tapi kemudian merembet ke masalah etnis karena melihat realita yang ada.

Pola seperti ini memang tidak terjadi pada setiap bisnis atau jabatan. Tetapi harus diakui, pola ini masih mengakar kuat di kehidupan kita sehari-hari. Maka, pemerintah perlu menyadari betul fenomena ini. Bukan untuk mengganti pola seperti ini sama sekali, namun mencari solusi agar potensi-potensi konflik dapat dikurangi.

Pertama, penguasaan aset dan akses pada aset tersebut diatur ulang sehingga tidak terjadi monopoli. Hal ini menjadi sangat penting karena berkaitan dengan keberlanjutan hidup. Misalnya, kepemilikan tanah. Akhir-akhir ini bahkan perampasan terhadap tanah semakin sering terjadi karena kesemrawutan kebijakan dalam ranah tersebut. Perampasan bahkan terjadi pada tanah-tanah adat yang urusan hukumnya baru mulai dibenahi beberapa tahun terakhir. Masalah ini menimbulkan konflik yang berlarut-larut sampai memunculkan sentimen-sentimen etnis. Sebab pihak pembeli mayoritas dari etnis tertentu juga. Kenyataan ini memang pahit tapi tetap perlu kita sadari.

Keseriusan pemerintah dalam hal pemerataan ini memang patut diawasi terus. Apalagi Jokowi-JK di awal tahun sudah berkomitmen terhadap pemerataan ekonomi.

Kedua, meninjau kembali peraturan-peraturan yang sering sekali berakibat pada diskriminasi. Salah satu contohnya adalah peraturan di Yogyakarta tentang kepemilikan tanah. Di Yogyakarta, selain (yang dianggap) pribumi, tidak bisa mempunyai hak milik tanah. Ini sangat memicu timbulnya tindakan diskriminasi yang tentu saja berakibat pada konflik. Contoh lain adalah UU ITE yang akhir-akhir ini malah semakin hanya menjadi alat pihak-pihak tertentu untuk melaporkan pihak lain. Tindakan lapor-melapor ini perlu tanggapan yang serius karena semakin sering terjadi.


Namun, perlu diakui juga, bahwa tidak setiap konflik etnis bersumber dari ketimpangan ekonomi. Ada yang memang muncul dari sentimen terhadap etnis tertentu. Dalam hal ini, media sangat berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat dan dapat memunculkan hal-hal semacam tersebut. Sialnya, media-media saat ini rela mempertahankan perilaku tersebut demi mengejar keuntungan semata. Maka, perlu ada pembenahan agar media turut membantu perdamaian antarsesama manusia.

Dandy Idwal // tapak.in
Ketimpangan Pemicu Konflik Etnis Reviewed by Dandy Idwal on Januari 27, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Komentari kalo perlu ...

© 2016 - 2017 Tapak | Mencatat Jejak All Rights Reserved.
Diberdayakan Blogger. Didesain oleh Junion dari Jejak Creativate

Kontak Redaksi

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.