Sebelum Bandara Kulon Progo Berdiri
![]() |
Foto: Ridwan AN |
Kulon Progo
mendung di sore hari. Kemudian terjadi hujan hingga malam hari. Anak-anak bebek
sudah berada di dalam kurungan. Deru kendaraan di depan rumah juga masih
berisik – Jalan Daendels itu memang dilalui oleh truk-truk berat. Benturan
bannya dengan perkerasan jalan sering menggetarkan kaca rumah. Hujan sungguh
lebat. Sehingga memang lebih baik untuk tetap berada di dalam rumah.
Bila sedikit
menengok ke arah luar, rumah-rumah lain juga terkesan sunyi. Tidak ada orang
yang terlihat. Sepertinya memang semua orang juga memutuskan untuk bersantai
saja di rumah.
Televisi
dihidupkan. Sofa depan TV yang permukaannya mulai dingin menjadi enak untuk
diduduki. Apalagi ketika tangan dibentangkan ke sekujur pundak sofa, juga saat
leher bagian belakang menyentuhnya, rasa nyaman semakin terasa. Saluran
televisi berulang-ulang diganti, untuk mencari acara atau program siaran yang
bermutu. Sebab di sofa ini juga ada gadis kecil yang masih duduk di bangku
kelas 2 SD. Awalnya memang jengah karena yang muncul adalah pemberitaan yang
bising tentang Pilgub Jakarta, kuis berhadiah, hingga sinetron. Akhirnya, TV
tak lagi berkedip saat muncul program dongeng kartun.
Lama berselang,
ketika suasana ruang tengah rumah tetap nyaman dengan iringan kengerian injakan
kaki-kaki hujan, terdengar bunyi gemertak dari arah atas. Muasal bunyi itu
langsung terlihat. Karena kayu yang retak itu, yang retakannya secara cepat
membengkak, tepat berada di depan mata ketika kepala sedikit mendongak. Apalagi
rumah ini tak memakai plafon. Sekeluarga bergegas keluar dari rumah. Karena khawatir atap
akan roboh.
Untungnya atap
itu tidak jadi roboh. Serat bagian atas kayu belum putus, meski pembengkakan
sudah melebihi setengah tebal kayu. Kayu itu berfungsi sebagai gording.
Saat kembali ke
ruang tengah, setelah memastikan keadaan aman, sambil memandangi balok kayu
itu, teringatlah suatu hal. Sejatinya sudah ada rencana untuk memperbaiki rumah
ini jauh-jauh hari yang lalu. Memang ada beberapa bagian rumah yang sudah
semestinya dipugar. Akan tetapi, sejak ada rencana pembangunan bandara di wilayah
ini, yang juga akan menggusur rumah ini, rencana itu tak terlaksana. Perhatian
beralih pada upaya-upaya penolakan, juga perlawanan. Rumah ini jadi
terbengkalai.
Kabar tentang
rencana pembangunan bandara muncul setelah Bupati Kulon Progo saat itu, Toyo
Santoso Dipo, menyetujuinya. Ia menjabat sebagai bupati selama dua periode
berturut-turut: 2001 hingga 2011. Warga Temon, khususnya yang akan terkena
dampak, mendengar kabar itu sejak tahun 2012. Hingga akhirnya dibentuklah Wahana
Tri Tunggal (WTT) pada 9 September di tahun yang sama. Ia menjadi wadah warga
untuk saling mencurahkan pikiran tentang hal-hal yang bisa dilakukan agar
bandara tidak jadi didirikan di Temon. Awalnya, anggota WTT berasal dari enam
desa, yaitu Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebonrejo, dan Temon Kulon.
Meskipun di perjalanan cerita, kita akan tahu, anggotanya semakin lama semakin
menyusut.
Yang tergabung ke
dalam WTT adalah petani. Mereka adalah para pemilik lahan, petani penggarap,
maupun buruh tani.
Perdebatan Tempat
Lokasi
pembangunan bandara itu memang tak serta merta menunjuk ke Temon, tempat rumah
ini berdiri – setidaknya begitu kata periset. Ada 7 calon lokasi yang
direncanakan. Salah satunya bandara yang sudah ada, Adisucipto – mereka
menyebutnya bandara existing. Enam
lokasi lainnya: Selomartani di Sleman, Gading Airport di Gunung Kidul,
Gadingharjo di Bantul, serta Bugel, Temon, Bulak Kayangan, yang ketiganya
berada di Kulon Progo. Ketujuh lokasi itu dibanding-bandingkan kelebihan dan
kelemahannya dengan tinjauan beberapa kriteria. Lagi-lagi menurut mereka,
perbanding-bandingan itu namanya analisis multikriteria. Pusat Studi
Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM yang melakukan analisis tersebut.
Mereka yang kemudian menyarankan lokasi terbaik untuk dibangun bandara baru.
Dalam kerangka yang lebih besar, Pustral yang melakukan studi kelayakan.
Analisis multikriteria adalah bagian dari studi kelayakan.
Menurut Pustral,
yang disampaikan pada Seminar Bulanan tanggal 27 September 2016, ada tiga
alasan yang mendesak pemindahan lokasi bandara komersial dari Adisucipto, yaitu
tentang keselamatan, kapasitas, dan penghalang (obstacle) bagi pengembangan kota.
Karena dekat
dengan perkotaan, Adisucipto dinilai memiliki risiko yang cukup tinggi. Selain
itu, kapasitas bandara tersebut tidak bisa dikembangkan lagi, sementara jumlah
penumpang terus meningkat. Di sebelah Barat bandara, sudah berdiri dengan megah-kaku
fly over Janti. Sedangkan di sisi Timur,
ada Candi Boko yang elok. Sehingga, apabila ingin menambah kapasitas, misalnya memperpanjang
run way, fly over Janti harus
dihancurkan dan Bukit Boko perlu dipangkas. Karena tiap pesawat punya kebutuhan
ruang bebas udara tertentu di sekitara run
way.
Bandara
Adisucipto dirancang dengan kapasitas maksimal 1,2 juta penumpang per tahun.
Sedangkan yang terjadi hingga tahun 2016, penumpang sudah mencapai 6 juta per
tahun. Ini berakibat pada antrean pesawat ketika akan mendarat dan juga di taxi way. Belum lagi jika memperhitungkan
pesawat militer.
Keberadaan
bandara juga menghambat perkembangan kota. Gedung di seputaran kota Yogya belum
bisa terlalu tinggi. Kalau membaca Perda Kota Yogyakarta No 1 tahun 2015
tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Yogyakarta, di situ tertulis
bahwa tinggi maksimal bangunan komersial adalah 32 meter dari permukaan tanah
atau setara dengan 8 lantai. Sedangkan untuk kepentingan tempat tinggal
maksimal 16 meter atau setara 4 lantai di atas permukaan tanah. Sehingga,
ketika bandara komersial pindah ke Kulon Progo, bangunan di Kota Yogya bisa
lebih tinggi lagi. Para penyedia jasa perhotelan bisa menjejalkan lebih banyak
orang lagi ke jeruji beton. Masalah ketersediaan hunian bisa secara praktis
diselesaikan karena akan lebih leluasa menumpuk manusia di bilik-bilik pengap.
Berdasarkan
analisis multikriteria, Gading Airport tidak dipilih karena tidak sesuai dengan
peraturan daerah/nasional. Untuk daerah Bugel, ada kontrak karya yang sedang
berjalan. Daerah Selomartani, yang berada di Sleman, ada di dalam area dampak
letusan Gunung Merapi. Selain itu, menurut Juhri Iwan Agriawan, peneliti
Pustral UGM, di Selomartani terdapat banyak sawah. Pembangunan bandara tentu
akan menurunkan produktifitas pertanian di wilayah itu. Sedangkan opsi di Bulak
Kayangan tidak dipilih karena akan ada banyak penduduk yang direlokasi.
Akhirnya,
pilihannya tersisa dua: kalau tidak di Gadingharjo ya di Temon. Ada beberapa
kriteria menarik yang menjadi pembeda dua tempat tersebut. Pertama, “kemudahan
mendapatkan lahan”. Pada kriteria ini, Pustral UGM menganggap bahwa lahan di
daerah Temon lebih mudah didapatkan daripada di Gadingharjo. Kedua, apabila
bandara dibangun di Temon, menurut Pustral UGM, “gangguan terhadap kegiatan
komunitas” akan lebih minim. Ketiga, dari segi akses bandara, di daerah Temon
akan lebih mudah untuk mengembangkan ruas jalan dan akses kereta api. Dengan
mempertimbangkan aspek-aspek lainnya, seperti
pengembangan wilayah, keberlanjutan operasi, lingkungan, Pustral UGM memilih
Temon sebagai tempat terbaik.
Lamunan sekilas
itu akhirnya buyar ketika tersadar bahwa kayu yang retak itu harus segera
disangga agar penghuni rumah tak celaka. Ia memang sudah terlihat berhenti
retak. Tapi lebar nganganya tetap membuat waswas. Kemudian tangan mengambil
senter yang bisa dilingkarkan di kepala. Kaki melangkah ke luar, berniat
mengambil persediaan bambu yang ditumpuk di pagar yang tak jauh dari rumah. Sudah
hampir pukul 11 malam, dan hujan pun sudah reda.
Dalam perjalanan
menuju tumpukan bambu itu, terlihat 2 pemuda duduk di teras sebuah rumah yang biasanya
digunakan oleh anggota WTT untuk berkumpul. Seketika teringat bahwa diri memang
ada janji dengan seorang mahasiswa UGM. Tampaknya ia membawa teman. Barangkali
hujan lebat tadi yang membuat mereka begitu malam sampai di tempat ini. Saat
diri semakin mendekati mereka, muka mereka terlihat bahagia. Akhirnya bertemu
dengan orang yang dituju, mungkin seperti itu yang mereka pikirkan.
“Nomor mas saya
telpon nggak aktif e mas,” katanya.
“Lah iya. Hp saya
mati.”
Mereka saya ajak
pindah ke rumah yang hampir roboh itu. Satu orang membawa sepeda motor, satunya
lagi membantu saya mengangkut sebatang bambu.
Setelah rumah
dipastikan benar-benar aman, dengan tiang penyangga yang sudah diantisipasi
agar tak tergelincir, kita berbincang di ruang tengah. Sambil menonton
televisi. Sambil menyeruput minuman hangat-sedap di malam yang dingin.
Hal ini saya
ucapkan di awal-awal pembicaraan: “besok pas ke sawah, kalau ketemu orang,
jangan bilang dari UGM.”
“Iya mas,” mereka
mengangguk sambil menyisipkan senyum.
Mereka tak menanyakan
alasannya. Sepertinya mereka sudah paham.
Bertani di Lahan Pasir
Esok paginya kami sudah siap dengan 2 sepeda motor, akan berangkat
ke sawah dekat Pantai Glagah. Sawah itu tak terlalu jauh dari rumah ini, paling
hanya 300 meter. Jalannya awal-awal beraspal. Ada juga yang diperkeras dengan
paving. Selebihnya, jalan setapak dengan lapisan pasir hitam yang cukup tebal.
Diri telah terbiasa melintasi jalan ini, sehingga perjalanan menjadi
mudah-mudah saja. Sementara 2 anak muda itu cukup berisik, sebab ban sepeda
motornya seringkali terjerembab di kubangan pasir. Sepeda motor itu jadi oleng
dan berjalan lelet.
Ketika sudah
sampai di sawah, yang dikunjungi pertama kali adalah barisan semangka. Mereka
sudah mulai berbuah, meski baru sebesar kepala kucing. Di pinggiran sawah
terdapat beberapa kotak kecil yang berisi benih semangka.
Sawah ini memang
sepenuhnya terbentuk dari hamparan pasir. Minim sekali unsur hara di antara
butirannya. Maka para petani, secara mandiri, mencampurkan kotoran-kotoran ternak
dengan gumpalan-gumpalan pasir. Bedengan dibentuk berbaris kemudian ditutupi
dengan pipa plastik. Petani juga membuat sumur di dekat sawah yang kemudian
dipompa untuk mengairi lahan. Pipa utama mengangkut air ke masing-masing bedeng.
Ke dalam aliran air itu terkadang dimasukkan takaran pupuk. Akhirnya, lahan itu
bisa ditanami.
Tentu saja tidak
hanya semangka yang ditanam. Telah tumbuh di petak lainnya tanaman seperti
jagung dan cabai. Kalau jagung dan semangka, petani cukup mengairinya di bagian
akarnya saja. Sedangkan daun cabai juga butuh dibasahi secara berkala. Karena
itulah, petani yang menamam cabai juga perlu menyiram secara manual, agar daun
cabai terkena tetes-tetes air. Tidak bisa hanya mengandalkan pipa.
![]() |
Mendinginkan mesin agar tetap kuat memompa air tanah untuk disiramkan ke tanaman Foto: Ridwan AN |
Karena tidak
pernah tahu – atau mungkin tidak mau tahu – tentang keadaan itu, atau bahkan
tak pernah mendengar ceritanya, orang-orang yang mengaku dipercaya melakukan
studi kelayakan akan berkata lahan di sekitar Pantai Glagah tidak produktif. Ia
tak seperti persawahan di wilayah Selomartani yang begitu rimbun. Ia juga tak
seperti sawah teknis di Gadingharjo yang dimanjakan dengan irigasi teknis. Ia
hanyalah ruang tandus, kering, dan asin yang dipenuhi tumpukan pasir hitam.
Tapi selama bertahun-tahun menjadi sumber kehidupan masyarakat Temon. Dari
hasil budi daya di lahan itu, petani sudah hidup cukup nan enak. Untuk makan
sudah ada tumpukan karung beras di dapur, sayuran di pagar, dan lauk yang
terjangkau. Bila ingin buah-buahan juga tinggal memetik dengan tangan sendiri.
Ia bahkan lebih dari sekadar cukup.
Bila bermodal
peta internet, sekilas memang akan terlihat wilayah pesisir itu dipenuhi dengan
kotak-kotak tambak. Deretan tambak akan terlihat mulai dari Dermaga Glagah
hingga muara Sungai Congot, baik tambak baru maupun yang sudah lama. Akan
tetapi, bila melihatnya lebih teliti, ada suatu bagian – bisa dibilang berada
di tengah – yang sama sekali tak beralih menjadi tambak. Ia tetap ditumbuhi
tanaman pangan. Pemiliknya tetap setia mengolah lahan itu agar tetap subur dan
semakin subur. Kemudian terbesit dalam pikiran, apa memang para tukang survei
itu tidak sabaran, sehingga yang dikerjakan menjadi asal-asalan, tidak sesuai
dengan yang ada di lapangan. Tetapi bisa saja, yang mereka dapatkan di lapangan
tidak sepenuhnya dilaporkan.
Polemik Kepemilikan Tanah
Seminggu yang
lalu, tepatnya 17 September 2016, malam Minggu, gunungan yang dibentuk oleh
macam-macam sayur dan umbi telah siap di mobil pick up. Karena besoknya, akan
diadakan arak-arakan menyusuri Jalan Daendels. Itu dalam rangka ulang tahun WTT
yang keempat. Tujuannya: untuk memberitahukan pada khayalak bahwa WTT masih
terus melakukan perjuangan agar tidak jadi terusir dari tanah sendiri. Tempat
doa bersama, knalpot nyaring, dan sablonan di kaos dikerjakan semalaman.
![]() |
Gunungan sayur sedang diarak di Jalan Daendels Foto: Hafidz WM |
![]() |
Seorang warga yang ikut arak-arakan menggunakan kaos bertuliskan "Pertahankan tanah kelahiran sampai titik darah penghabisan". Foto: Hafidz WM |
Setelah foto-foto
dan video arak-arakan menyebar di media sosial, muncul berbagai komentar.
Suara-suara itu ada yang bentuknya dukungan, tapi juga ada yang sindiran. Seperti:
koyo lemahe dewe wae... (kayak
tanahmu sendiri aja). Persoalan tanah di Yogyakarta memang butuh penjelasan
secara pelan-pelan.
Suatu sore di
hari Selasa, 15 September 2015, Sultan HB X menyatakan bahwa tidak ada tanah
negara di Yogyakarta. Ia berujar, “Neng Jogja ora ono tanah negara. Hasil
Paliyan Nagari kok tanah negara.” Palihan Nagari disebut juga Perjanjian Giyanti
yang ditandatangani oleh VOC dan pihak Mataram. Perjanjian itu membagi wilayah
Mataram menjadi dua bagian: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Pernyataan Sultan
tersebut bertolak pada kerangka sejarah. Sementara dalam ranah legal-formal,
bisa dikupas beberapa bagian dari UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
D.I. Yogyakarta yang berhubungan dengan persoalan tanah.
Dalam UU itu,
tentang pertanahan dibahas secara spesifik di Pasal 32. Di situ disebutkan
bahwa dalam konteks pertanahan, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman
dinyatakan sebagai badan hukum. Di Indonesia, badan hukum dibedakan menjadi
dua: badan hukum publik dan privat. Bedanya, sebuah badan hukum publik
mempunyai wewenang untuk mengatur aset-aset negara, tetapi tidak mempunyai hak
milik. Sedangkan badan hukum privat mempunyai hak milik tapi tak punya hak
mengatur. Di ayat (2) dan (3) Pasal 32 UU Keistimewaan, dinyatakan bahwa
Kasultanan dan Kadipaten mempunyai hak milik masing-masing terhadap tanah
Kasultanan (Sultan Ground/SG) dan tanah Kadipaten (Pakualaman Ground/PAG). Ini
menunjukkan bahwa Kasultanan dan Kadipaten adalah lembaga hukum privat, semacam
perusahaan, karena mempunyai hak milik. Akan tetapi, pada ayat (5), kemudian
disebutkan bahwa Kasultanan dan Kadipaten mempunya wewenang untuk mengelola
tanah di Yogyakarta. Dari kenyataan ini terlihat bahwa Kasultanan dan Kadipaten
berperan sebagai badan hukum privat sekaligus publik. Mereka punya hak milik,
dan juga bisa mengatur. Ini seperti membayangkan perusahaan Hary Tanoesoedibjo
punya wewenang mengatur aset-aset negara secara legal.
Karena itulah
polemik UU Keistimewaan Yogyakarta belum juga usai.
Bila meninjau
lebih jauh ke belakang, sejak 1 April 1984, melalui Keputusan Presiden 33/1984,
UU Pembaruan Agraria (UUPA) diberlakukan sepenuhnya di DIY. Peraturan ini
terbit atas desakan dari Sri Sultan HB IX. Ia ingin UUPA juga diterapkan di
DIY. Dengan menerapkan UUPA, berarti ada upaya untuk mendistribusikan tanah
secara merata kepada rakyat. Tidak hanya itu, UUPA juga berpesan perlunya
pengaturan alur distribusi komoditas hasil bumi secara lebih adil. Dalam level
peraturan daerah, juga terbit Perda DIY No 3 Tahun 1984 yang isinya menghapus Rijksblad (Hukum Kolonial) yang menjadi
dasar hukum SG dan PAG.
Efek Konflik
Malam telah
berganti dini hari. Tetapi obrolan belum juga terhenti. Sesekali percakapan itu
memang berjeda dan diisi dengan melihat telepon genggam masing-masing. Lalu
terlintas suatu poster di layar hp, dan saya tunjukkan pada 2 anak muda itu.
“Ini mas, kita
diajak demo di Abu Bakar Ali. Buat peringatan Hari Tani.”
“Terus mas?”
“Kita nggak ikut.
Belum siap warga di sini, dan lelah juga.”
Konflik yang
terjadi akibat rencana pembangunan bandara memang tidak hanya antara petani
dengan pemerintah dan Angkasa Pura. Efeknya juga kencang antarsesama warga. Ini
terjadi karena saat ini kondisinya sudah ada beberapa warga yang setuju
menyerahkan tanah dan rumahnya. Secara umum, mereka yang setuju kebanyakan
tidak berprofesi sebagai petani, misalnya seorang dokter, karyawan, atau
pegawai pemerintahan. Ada juga beberapa orang yang tidak kehilangan keduanya
(tanah dan rumah), tetapi hanya salah satunya. Sehingga mereka setuju. Tinggal
anggota WTT yang “konsisten ora muntir”.
“Kalo kita para
petani kan nggak takut kehilangan pekerjaan. Nggak takut dipecat. Nggak takut
kehilangan gaji.”
Efek konfliknya,
misalnya, ketika ada suatu acara dari sekolompok warga yang setuju menjual
tanahnya, maka warga yang tidak setuju tidak mau ikut serta. Begitu juga
sebaliknya. Contoh lain, terdapat satu keluarga yang tidak kompak dalam
merespon pembangunan bandara. Ada anggota keluarga yang setuju, ada yang tidak.
Yang setuju mendapat info bahwa jika keluarganya butuh waktu lebih lama lagi
untuk kompak setuju, jumlah uang pengganti akan dikurangi. Maka ia akan
membujuk keluarganya, dan ketika mencapai tahap tertentu akan memaksa. Keluarga
yang awalnya guyub menjadi berantakan.
Keamanan di
wilayah Pantai Glagah juga menjadi semakin rawan. Prasangka antarwarga terus
saja berumunculan.
Sampai di titik
ini, pembangunan infrastruktur yang acap kali ditempelkan begitu saja dengan
frasa “peningkatan ekonomi”, “pengembangan pariwisata”, “pembangunan nasional”
menjadi sangat tidak sesederhana yang sering dibicarakan.
Benturan Kepentingan
Tentang polemik
pembangunan bandara di Kulon Progo ini sudah tersebar begitu luas, karena media
cukup sering membicarakannya dengan perspektif dan kepentingan masing-masing.
Ia menggema ke berbagai telinga orang, terutama di Yogya, baik yang peduli
maupun yang tak acuh. Prosesnya yang cukup berlarut-larut juga memicu munculnya
berbagai macam skripsi. Tema yang digunakan bermacam-macam. Salah satu
contohnya ialah skripsi tentang strategi Angkasa Pura dalam menghadapi penolakan
masyarakat Temon terhadap bandara. Skripsi lainnya membahas tentang persepsi
masyarakat Kulon Progo terhadap rencana pembangunan bandara. Ternyata,
mahasiswa juga mempunyai kepentingan di kejadian ini, dengan motif yang
bermacam-macam.
Kepada dua anak muda
itu kemudian terucap, “Ya kita sih silahkan... kalau ada mahasiswa yang ingin
penelitian skripsi di sini. Tapi kita juga sebenarnya tidak ingin hanya menjadi
bahan percobaan.”
Ketika berbicara
mengenai rencana pembangunan bandara ini, memang terjadi benturan dari berbagai
perspektif ilmu. Salah satu ilmu akan lebih sering berbicara “bangun, bangun,
dan bangun” untuk “percepatan pembangunan nasional”. Tetapi juga ada perspektif
ilmu lain yang ia akan lebih condong untuk menekankan perihal “perubahan lingkungan”,
“perubahan sosial”, dan “perubahan distribusi sumber daya” yang sebetulnya
menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Bahkan juga ada suatu sudut pandang yang
akan lebih kencang berbicara tentang “keserasian dengan alam”. Idealnya, satu
menjadi kontrol yang lain, agar terwujud keseimbangan.
Akan tetapi,
realita yang terjadi tidak seideal itu. Suatu perspektif ilmu menjadi dominan
terhadap lainnya. Kepercayaan terhadap “pembangunan fisik” diterapkan dengan
begitu bengis sehingga mengabaikan kontrol dari perspektif lain. Alurnya
kemudian menjadi sangat taktis nirkritis: perjalanan pariwisata ke Yogya
meningkat --> Bandara
Adisucipto overload --> rencana pembangunan bandara baru --> ancaman bencana, daya dukung lingkungan
rendah, perampasan hak hidup --> rekayasa teknik dan hukum --> bandara baru --> keuntungan bagi kalangan tertentu. Pola
pikir taktis itu menjadi sangat gamblang sebagai “penaklukan alam”, jauh sekali
dari “keharmonisan dengan alam”. Kecenderungan seperti ini memang kerap terjadi
pada orang-orang yang miskin imajinasi, para pemimpi yang malas. Di otaknya
hanya menumpuk kumpulan solusi yang memunculkan perintah “gusur” dan “usir”.
Jawaban yang memungkinkan
adalah kolaborasi antardisiplin ilmu. Bukan untuk mencampuradukkan berbagai
macam perspektif ilmu. Tetapi setidaknya diberi ruang untuk saling mengisi.
Prasyarat-prasyarat dari masing-masing ilmu terpenuhi. Di dalamnya perlu
terjadi negoisasi yang adil.
Namun, kolaborasi
itu hanya akan menjadi angan-angan saat ego masih kencang. Bila hasrat dari
penguasa Yogya, calon penerima manfaat bandara, dan orang-orang yang kecipratan
– untuk 3 kelompok ini rasa-rasanya sudah jelas – masih mendominasi proses negoisasi,
ya kondisinya akan begini-begini saja.
“Kalau mau
egois-egoisan ya, kita petani juga kadang-kadang berpikir untuk tidak menjual
bahan-bahan pangan yang kita hasilkan. Lalu kalian mau makan apa?” tiba-tiba
mulut ini berbicara spontan.
Yang Terancam Digusur // tapak.in
Editor: Mutia F
Sebelum Bandara Kulon Progo Berdiri
Reviewed by Dandy Idwal
on
November 01, 2016
Rating:

Tidak ada komentar:
Komentari kalo perlu ...