Mendengarkan Perempuan Pala Bercerita Tentang Perang
![]() |
Judul
|
: Perempuan Pala
|
---|---|
Penulis | : Azhari Aiyub |
Penerbit | : Buku Mojok |
ISBN | : 978-602-1318-12-6 |
Jumlah Halaman | : xvvii + 13 |
Pada akhirnya, setelah perang
berakhir, yang tersisa adalah luka. Perkara siapa yang menang dan siapa yang
kalah paling cuma sepintas berjalan-jalan di pikiran. Hari-hari selanjutnya
akan berhadapan dengan sisa-sisa tembakan, pancungan, hingga luka bakar.
Azhari berusaha
merajut kenangan-kenangan buruk itu menjadi sekumpulan cerita pendek. Sebagian
besar bercerita tentang perempuan yang berada di wilayah perang. Tentang
seorang ibu yang ditinggal oleh suaminya dan kedua anaknya. Tentang seorang
nenek yang kangen membikin sambal kesukaannya – sebab rempah-rempah menjadi
langka karena perang. Tentang ibu yang mengingatkan orang-orang di
sekelilingnya bahwa Aceh dibentuk oleh semangat pertanian – seumangat Padi – bukannya peperangan. Di
Aceh memang ada pepatah: “Sembahyang pokoknya ibadat, bertani pokoknya kerja.”
Tentu juga ada
cerita-cerita lainnya. Salah satunya cerita tentang seorang anak dan kakeknya sedang
membolak-balik badan busuk yang mengalir di sungai, mencari sang bapak.
Azhari adalah penulis
asal Aceh. Ia mendirikan Komunitas Tikar Pandan di Aceh yang bergiat dalam
tataran akar rumput untuk memfasilitasi penduduk desa dalam hal pendidikan,
kemandirian finansial, dan kesadaran politik. Ia menulis berbagai hal, dari
prosa, puisi, hingga esai. Melalui cerpennya yang berjudul “Ibuku Bersayap
Merah”, ia menerima Free Word Award dari Poets of All Nation di Belanda pada
tahun 2005.
Perempuan Pala sebelumnya sudah pernah diterbitkan pada tahun
2004, juga berupa kumpulan cerita pendek. Di terbitan yang baru ini ada
perbaikan di beberapa ceritanya. Selain itu, terdapat pula beberapa tambahan
cerita yang dibikin belakangan. Cerita-cerita yang baru relatif lebih pendek.
Seperti cerita “Demi Kegembiraan Para Diplomat” yang cuma satu halaman. Cerita
ini diletakkan di urutan paling awal. Keputusan ini cukup berhasil. Karena,
cerita itu padat-berisi dan membuncahkan diri. Sepertinya itu disebabkan oleh
kedekatan isi dengan pengalaman pembaca. Azhari menyuguhkan satu potongan
kejadian ketika Soeharto tiba-tiba menjabat sebagai presiden dan para diplomat
Amerika berduyun-duyun kembali masuk ke Indonesia.
Menurut pengakuan
Azhari, ia memang ingin menggambarkan situasi ketika masa-masa konflik antara
militer Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) selama rentang 1989-1998. Menurutnya, masyarakat Aceh merasakan kepedihan ketika senjata dan militer berkeliaran di mana-mana. Sastra,
khususnya cerpen, ia pilih sebagai alat ungkap. Karena, ada banyak
hal yang tidak dapat diungkapkan dengan metode penulisan jurnalistik. Lagi pula
dengan sastra ia bisa masuk lebih dalam; bisa menceritakan keadaan yang ia
ketahui secara lebih detail. Azhari mencoba menulis cerita-cerita di buku ini
dengan jujur.
Ketika mata sudah
sampai pada halaman tengah, atau mungkin sebelum itu, bisa saja sadar bahwa
nada dari tiap cerita di buku ini sedentuman. Plot dari cerita satu ke cerita
berikutnya juga terkesan dirajut oleh benang merah yang sama. Azhari seperti
mencoba menarasikan satu peristiwa melalui lubang-lubang pandangan yang berada
di berbagai arah. Ia seakan bercerita tentang seseorang melalui satu per satu
bagian tubuhnya: matanya, telinganya, hingga hatinya. Akan tetapi, ini bisa
juga dibilang sebagai kekurangan dari buku ini. Sebab salah satu keunikan
cerpen adalah ketukan nada yang berbeda-beda. Tidak seperti novel yang dari
awal lembaran buku sampai akhir akan mempunyai irama penceritaan yang serupa.
Sebetulnya juga di situ tantangan dari penulisan cerpen: meracik kembali irama
baru (kalimat pembuka baru) tiap membuat cerita.
Dandy Idwal M // tapak.in
Mendengarkan Perempuan Pala Bercerita Tentang Perang
Reviewed by Dandy Idwal
on
November 16, 2016
Rating:

Tidak ada komentar:
Komentari kalo perlu ...