Narasi Alas Kaki
Hamparan pasir pantai yang sudah mulai mengering sebenarnya tetap lembut. Bola-bola air masih menyatu dan menyelinap di rongga-rongga antarbutir pasir. Kita bisa membuat sebuah istana lengkap dengan bentengnya dengan menggunakan pasir yang seperti ini. Tentu saja istana mini, alias imaji.
Akan tetapi, kita tetap butuh air laut untuk membuat istana mini. Kita perlu untuk menggali hamparan pasir itu selebar kepalan tangan dan sedalam lengan. Bila sudah sedalam lengan, air laut akan menyembur dari bawah dan samping. Air laut ini digunakan untuk membuat adonan pasir menjadi lebih encer. Kita bisa membuat para prajurit di atas benteng-benteng istana dengan meneteskan pasir encer dari genggaman tangan. Perlu pengalaman dan rasa hati-hati agar tetesan itu bisa membentuk badan, leher, kepala, dan organ-organ lainnya dari tubuh prajurit. Anehnya, dan baru tersadar sekarang, saya tidak pernah membuat raja, ratu, atau pangeran. Saya hanya tertarik membuat para penjaga istana.
Hal lain yang perlu diperhatikan: dasar lubang yang kita buat sebaiknya dicegah agar tak melebar. Pelebaran dasar lubang bisa membuat tebing lubang runtuh. Meski ini tak jadi soal – malah sebenarnya bagus karena pasir encer jadi lebih banyak, tetapi biasanya ada persaingan dengan teman sebelah untuk mempertahankan tebing lubang. Mungkin, sumur adalah bagian kemegahan dari sebuah istana.
Pasir yang seperti ini sebenarnya juga enak buat main sepakbola. Tidak ada air mengambang yang bisa menghentikan laju bola secara mendadak. Ini bagus, agar tak terulang lagi kejadian yang dialami teman saya. Dia menggiring bola dengan gaya Theo Walcott – sangat cepat dan sangat lurus. Tiba-tiba, bola di kakinya diam mendadak. Kaki kirinya tersandung bola. Ia terkapar di pasir yang becek. Spontan dia menggenggam pasir dan melempari bola sekuat tenaga, sambil menghujatnya. Teman-temannya, termasuk saya, spontan juga menertawainya.
Pasir yang kering juga mengindikasikan tidak banyak batu di hamparan. Karena, hamparan pasir kering terbentuk dari tumpukan pasir yang tebal, hingga mengubur batu. Kaki-kaki menjadi tidak perlu dikhawatirkan tersandung gumpalan batu. Sebab kita kan sama-sama tahu, anak-anak yang bermain bola di pasir pantai tidak memakai alas kaki. Kecuali adik saya, yang ngeyel tetap main bola meski kaki kirinya bolong di bagian bawah setelah dioperasi. Ia memakai sandal di kaki kirinya saja. Selama bermain, posisinya terus berada di depan kiper. Tak pernah berpindah. Ia hanya menunggu bola datang dan menendangnya dengan sedikit asal-asalan. Yang penting bola melambung ke depan.
Pasir itu mungkin hanya bermasalah bagi saya. Hanya sekali saja bermain bola dengan pasir yang seperti itu, kaki saya langsung kapalan di bagian depan. Terutama di bagian dalam kaki dan jempol. Kulit itu mengeras di bagian bawah jempol namun masih berwarna putih, sementara di belakang jempol berwarna merah. Ada kumpulan darah yang terperangkap di kantong yang terbentuk dari kulit yang mengembang.
Bahkan, di kaki kanan sudah terkelupas empat lapis kulit setelah berkali-kali main. Darahnya sudah tak lagi mengalir.
“Pakai sandal sama sepatu terus sih, makanya kulit kakimu jadi halus dan tipis,” salah satu teman berkata pada saya dengan pipi kanannya terangkat. Memang, saat sore sebelum bermain bola, saya melihat kulit kaki teman-teman saya lebih tebal. Garis-garis di kulit mereka terlihat lebih jelas. Tak mengherankan, sebab mereka sering menapaki bongkahan tanah sawah yang sudah lama dibajak.
Tentu saja mereka tahu bahwa orang kuliah tidak boleh nyeker. Bahkan sebagian besar tak boleh bersandal, harus bersepatu. Mungkin karena para intelektual itu sudah terlanjur percaya bahwa otak berada di telapak kaki, sehingga harus dilindungi, didandani.
Sebenarnya saat masih berada di hamparan pasir, berlari-lari dan menendang bola, rasa sakit akibat kulit kaki yang mengelupas tak terasa. Meski pasir-pasir laut menyelinap ke lembar-lembar kulit. Yang berada di otak, saat bola menghampiri kaki atau teman se-tim membawa bola, adalah perintah agar kaki mengontrol bola atau ikut berlari ke arah gawang lawan. Namun perintah yang sama tak terjadi saat tim sendiri sedang diserang. Kaki malas bergerak untuk mundur dan bertahan, atau berusaha merebut bola dari lawan. Yang dilakukan kemudian hanya memegang pinggang dengan kedua belah tangan. Entahlah, ikut membantu pertahanan memang tak mengasyikkan.
Rasa sakit barulah menyiksa saat kaki mulai tersentuh air tawar di kamar mandi. Apakah air asin laut ramah pada luka? Apakah air yang berasa tawar justru kejam terhadap luka? Saya tak tahu pasti. Dan selama tidak tahu, saya akan menjawab pertanyaan itu seperti ini: di air asin saya bermain sepakbola, sementara di air tawar saya hanya berdiri diam saja.
Karena terbiasa sejak kecil, setelah selesai mandi dan kaki sudah kering, saya mengibas-ngibaskan sumbu yang terlumuri minyak tanah. Ini dilakukan sampai saya yakin minyak tanah sudah meresap ke dalam luka. Beberapa detik kemudian, minyak tanah itu akan menggigiti permukaan luka. Rasa sakitnya lebih dari yang terasa di kamar mandi.
Saat rasa sakit itu mencapai puncaknya, saya terpikirkan satu hal: alas kaki memang melindungi kaki, namun sebetulnya ia juga memperlemah kaki. Tipis!
Ingatan kemudian terlontar pada saat masih belajar di madrasah sanawiah. Di sana terdapat dua gedung tempat belajar, sebuah masjid atap tumpang tiga, dan sepetak tanah yang masih berada di dalam pagar. Di bagian timur, bagian atas tanah itu terlapisi pasir halus. Di sisi seberangnya, tanahnya ditumbuhi rumput, dilapisi kerikil-kerikil tajam, dan beberapa pecahan keramik. Anak-anak akan membuat gawang dengan tumpukan sandal. Bola plastik akan menjadi rebutan, meski sering juga kaki menyandung pecahan keramik atau menendang batu. Kadang-kadang badan yang mengenakan baju takwa lengkap dengan kopiahnya berseluncur di atas lapisan pasir karena kaki akan terlambat menerima umpan silang di depan gawang dari rekan satu tim. Kita begitu riuh bermain bola sampai tak terdengar peringatan masuk kelas. Sampai-sampai ustadz yang sering menggunakan kopiah bulat berwarna putih datang membawa ranting bambu. Ia menyasar pantat siapa saja yang bisa dia jangkau. Yang lolos masuk ke kelas, tak akan terkena sabetannya. Ia memang terkenal ustadz yang jahat. Selain sering menyabet dengan ranting bambu, ia sering menggigit kuping. Bahkan beredar cerita bahwa ia pernah menggigit kuping muridnya sampai putus.
Di kala itu, kaki saya tak pernah kapalan.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, saat memasuki bulan Agustus, akan digelar pertandingan sepakbola antarkampung lokalan. Artinya, tidak boleh menggunakan pemain bon, yaitu pemain yang didatangkan dari luar pulau. Klub sepakbola desa saya sebenarnya bernama Perseka (Persatuan Sepakbola Kalowang). Tapi, sang pelatih tiba-tiba menggantinya dengan nama Persatuan Sepakbola (PS) Alangan. Sehari-hari, kita memang menyebut hamparan pasir itu sebagai Alangan. Barangkali, karena kita hanya bermodal latihan di Alangan setiap sore – itu pun kalo air sedang surut. Sedangkan desa-desa lainnya punya lapangan rumput masing-masing.
Di ujung timur pulau bahkan ada yang menjengkelkan. Ada hamparan lapangan bola, tak banyak bergelombang, dengan tiang gawang yang masih kokoh. Namun tak ada lagi bunyi bug yang muncul dari benturan kaki dengan bola, atau bunyi betis menghantam betis. Lapangan itu tiap sore hanya dihuni segerombolan kambing putih yang bulunya agak mau keriting. Kambing-kambing itu ada yang dilepas begitu saja, menjelajah lapangan, dan ada juga yang diikat ke pasak. Mereka cukup membantu lapangan agar rumputnya tak jadi rimbun.
“Di sana anak-anaknya pengin pinter semua,” teman saya yang agak gempal menyela.
Maksud dia, anak-anak di desa itu banyak yang meninggalkan desanya untuk melanjutkan sekolah di luar pulau. Sedangkan yang masih tinggal – yang masih SD, SMP, atau SMA – lebih senang berada di rumah, tak bersenggama dengan bola di sore hari.
“Belajar terus mungkin.”
Kemudian akan muncul sebutan: orang-orang sekolah!
Karena sepakbola agustusan memakai lapangan rumput, PS Alangan tentu harus mulai berlatih di lapangan rumput beberapa hari sebelum pertandingan dimulai. Maka, ide yang muncul, mengajak friendly match desa sebelah. Desa yang ditantang kesebelasannya bernama PS Fatanah.
Tanah lapangan di sana keras. Sebab tanahnya berwarna putih. Kalo tanah yang lembut biasanya berwarna hitam. Rumput lapangan cukup bagus. Di sisi utara berbatasan dengan tebing, yang di atasnya ada jalan aspal. Sementara di sisi selatan terdapat jurang yang nyaris tepat di pinggir garis lapangan. Walau ada jejeran pohon-pohon tinggi di sepanjang garis, tapi cukup sering bola menggelinding jatuh ke dalam jurang. Untung jurangnya tak cukup dalam.
Saat mau berangkat dari rumah, saya bertengkar dengan adik masalah sepatu. Kita berebut sepatu. Ada dua sepatu, yang satu berwarna pink, yang satunya kuning. Kita tidak sedang berebut warna – tentu saja. Tapi, yang pink lebih baru dan terawat. Sedang yang kuning bentuknya saja sudah tak keruan.
Akhirnya saya memakai yang kuning. Sebab adik sudah berkata: itu semua punyaku kok.
Ketika sudah berada di lapangan, tak perlu disuruh, semua langsung siap-siap pasang sepatu. Lagipula kita memang sudah telat. Tuan rumah sudah sangat siap. Saat saya mengambil kaos kaki yang tergumpal di sepatu, ada dua katak yang sedang ngobrol ringan di dalam sepatu.
Asu!
Dengan memegang ujungnya, sepatu itu saya hentak-hentakkan ke tanah. Perlu berkali-kali hentakan sampai kedua katak itu keluar. Lalu mereka bersembunyi di timbunan rumput.
Mungkin tak sampai sepuluh menit, para pemain PS Alangan – ya, termasuk saya – sudah mulai kesusahan menghirup udara. Keluhannya sama: kaki terasa berat. Seperti ada sesuatu yang menahan kaki saat ingin berlari. Kaki juga tak bebas bergerak karena memakai sepatu.
Iyalah, sehari-hari kaki menapak pasir pantai, bermanuver dengan bebas, berlari dengan enteng, lalu disuruh memakai sepatu. Kaki jadi kaku.
“Umpan terobosanmu tadi nggak aku kejar bukan karena apa-apa, udah pengap,” teman saya berkeluh saat babak pertama selesai. Dia bermain di sayap kanan.
“Iya, tiap mau lari tuh rasanya kayak di tanjakan terus,” teman saya yang lain, bermain di gelandang, menambahi.
Tentu saja narasi tentang alas kaki di sepakbola tak selalu buruk seperti itu. Masih ingat saat Euro 2016, Payet mencium sepatu Griezmann setelah menjebol gawang Islandia? Di momen itu, alas kaki dipuja dengan begitu hikmat.
+Dandy Idwal Muad // Tapak.in
Narasi Alas Kaki
Reviewed by Dandy Idwal
on
Agustus 03, 2016
Rating:

Tidak ada komentar:
Komentari kalo perlu ...