random

Kusutnya Pemberitaan Kejahatan Seksual dan Sikap Kita

ilustrator: Cinta Dzilhaq


Pertengahan bulan Juni lalu Detik X merilis sebuah berita berjudul Hiperseks Berbuah Pemerkosaan. Di berita ini, Detik X mengabaikan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan rasa simpatik.

Keputusan Detik untuk memperluas portal beritanya dengan memunculkan Detik X memang sebuah kabar yang menggembirakan. Detik X, yang beralamat di x.detik.com, mengulas berita dengan lebih mendalam, tidak seperti detik.com yang kebanyakan beritanya hanya mengulas bagian permukaan – sekadar pemberitahuan – dengan menawarkan kecepatan. Bahkan tak hanya mendalam, Detik X juga menghias beritanya dengan narasi yang elok dan ilustrasi yang mencolok. Seperti tagline yang terdapat di rubrik Crime Story, Detik X “dikemas dalam bahasa bercerita atau bertutur, dilengkapi dengan gambar/ilustrasi yang menarik”. Namun, karena mengabaikan etika, niat indah itu malah menjerumuskan Detik X pada beberapa hal yang melewati batas.

Pertama, dalam berita itu, Detik X memaparkan identitas korban dengan jelas. Mereka memang hanya menulis inisial korban pemerkosaan. Akan tetapi, bila menengok pasal 5 KEJ, di sana tertulis bahwa “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”. Penafsiran “identitas” dari pasal ini adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang, yang memudahkan orang lain untuk melacak. Detik X menulis: “Di Dusun Singoyodo RT 02 RW 07, Desa Ketowan, Kecamatan Arjasa tempat SN tinggal”. Di situ tertulis nama dusun tempat korban tinggal, bahkan nomor RT dan RW, wilayah yang paling kecil dalam tatanan administrasi wilayah di Indonesia. Penyebutan ini tentu membuat orang yang membaca akan mudah melacak tempat tinggal korban. Tak hanya itu, Detik X juga menyebut tempat korban bekerja.

Kerahasiaan identitas korban sangat penting dalam pemberitaan kejahatan seksual. Sebab, salah satu tujuan dari pemberitaan kasus semacam ini adalah untuk menghambat kejahatan-kejahatan yang sama terulang kembali. Jadi, yang harus dibeberkan secara jelas dan lengkap adalah identitas pelaku, serta hal-hal yang mendorong pelaku melakukan hal tersebut. Apalagi jika pelaku masih dalam status buron. Sialnya, dalam berita ini, Detik X hanya menuliskan inisial pelaku.

Apabila memang terpaksa harus menyebut tempat tinggal korban, sebutlah dengan daerah yang lebih luas, misalnya tingkat kabupaten/kota. Untuk kasus di berita ini, Detik X seharusnya cukup menulis “di Situbondo”. Tak lebih dari itu.

Penggunaan nama samaran semacam “Bunga”, “Mawar”, “Melati”, dan yang lainnya, sebaiknya juga tak dilakukan. Karena, ada begitu banyak wanita yang memakai nama-nama itu. Sehingga menjadi rentan orang dengan nama tersebut merasa dirugikan dengan pemberitaan yang kita buat. Dua huruf kapital cukup untuk menyebut inisial korban.

Kedua, Detik X membumbui beritanya dengan kehidupan pribadi korban dan keluarganya. Mereka bercerita tentang rumah tangga yang dibangun oleh korban tidak bertahan lama. Mereka juga memasukkan informasi bahwa para tetangga korban sering bergunjing tentang si korban yang acap kali digoda lelaki iseng karena statusnya sebagai seorang janda. Lebih jauh, mereka menyebut korban “mengoplos obat-obatan yang biasa dijual di warung dengan harga murah”. Mungkin, informasi-informasi ini dimunculkan untuk mendukung tagline berita mereka yang terlanjur memakai kata “bercerita”, “bertutur”. Tapi apakah demi mencapai visi, sebuah aturan bisa dilanggar? Sebenarnya apa yang berada di pikiran para wartawan itu ketika mengeksploitasi kehidupan pribadi korban yang mereka anggap “menarik untuk dibaca”?

Seperti identitas korban, kehidupan pribadi korban juga tidak perlu dimasukkan dalam pemberitaan kejahatan seksual. Hal ini dipertegas dalam Pasal 9 KEJ: “Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.” Penafsiran dari pasal ini adalah : 1) Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. 2) Kehidupan pribadi adalah segala kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik. Walaupun, dalam hal ini, ada beberapa hal yang perlu kita pikirkan lebih dalam lagi. Informasi-informasi seperti apa yang termasuk pada kepentingan publik, sehingga dikecualikan dalam pasal ini? Karena, seringkali para wartawan menggunakan dalih “publik perlu tahu” dan “demi kepentingan publik” untuk membeberkan semua informasi yang mereka dapat, tanpa memilahnya. Dari sinilah wartawan perlu untuk terus belajar: hal-hal apa yang boleh dipublikasikan dan yang tidak. Sebab wartawan adalah manusia, bisa mikir, bukan mesin ketik yang setia memuntahkan semua data.

Dari segi rasa simpatik, tidak menyertakan kehidupan pribadi korban – tentu saja identitas juga, berarti kita membantu korban terhindar dari stigma-stigma yang sudah berkembang di masyarakat. Stigma yang sering terjadi ialah menyalahkan korban kejahatan seksual. Stigma semacam ini masih bertahan di sudut-sudut pergaulan, meski kadang tak disadari. Seringkali, ketika kehidupan pribadi korban terekspose di media dan bahkan menjadi trending topic, orang-orang mengucilkan dirinya, lalu memberikan berbagai “cap” buruk pada korban. 

Yang ketiga, Detik X merangkai berbagai informasi sedemikian rupa sehingga seolah-olah ada andil dari diri korban yang membuat dia mengalami kejahatan seksual. Awalnya, mereka mendeskripsikan fisik korban: “... membuatnya terlihat semampai bila mengenakan celana panjang”. Selanjutnya, mereka menyinggung aktivitas korban yang mulai coba-coba mengonsumsi narkoba. Kemudian muncul peryataan dari seorang psikiater, yang mereka sebut “catatan yang mencengangkan”, bahwa “korban mengalami kelainan pada hasrat seksualnya yang cukup tinggi”. Mereka juga memuat isu – entah dari mana mereka mendapatkannya – yang berisi gunjingan “bahwa perempuan itu ditinggal suaminya karena tak tahan meladeninya di tempat tidur”. Entahlah, apa motivasi para wartawan itu dengan merajut informasi-informasi semacam ini? Apakah mereka hendak berkata bahwa si korban “pantas” diperkosa?

Khusus di bagian “mengonsumsi narkoba”, Detik X juga memuat pernyataan Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Situbondo I Gede Lila Buana: “Sejak delapan bulan lalu, dia mengkonsumsi obat daftar G (dilarang), seperti Nipam”. Ini menampilkan gaya hidup korban, yang seharusnya dihindari. Namun, seharusnya kita tidak hanya menyorot si wartawan dengan pemuatan informasi ini, tapi juga aparat keamanan. Seharusnya para polisi juga paham bahwa informasi privasi korban (yang mereka temukan selama penyelidikan) tidak untuk dipublikasikan. Sehingga, para polisi harus ekstra memilah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan wartawan.

Pemberitaan kejahatan seksual seharusnya berorientasi pada usaha menyelamatkan korban, bukan malah menyudutkannya di ruang stigma. Akan tetapi, pembelaan terhadap korban ini pun tidak dilakukan dengan naif. Perlu dipastikan terlebih dahulu bahwa seseorang memang telah mengalami kejahatan seksual. Di sinilah, sebagaimana yang telah saya singgung sebelumnya, wartawan perlu untuk terus belajar: membedakan isu yang dimanfaatkan pihak tertentu dengan informasi yang terverifikasi.

Yang terakhir, Detik X tidak mempertimbangkan trauma yang akan dialami korban dengan menampilkan detail-detail derita yang dialami korban setelah kejadian. Mereka mendramatisasi kondisi fisik korban saat ditemukan oleh ibunya. Di artikel lain, yang masih satu kejadian dengan artikel sebelumnya, mereka menceritakan detail selama kejadian dengan diiringi ilustrasi yang mendukung narasinya. Artikel itu mereka beri judul Nestapa Janda Muda di Tapal Kuda. Bagaimana jika si korban membacanya sehingga teringat kembali pada hal-hal buruk yang menimpanya? Apa yang akan terjadi bila kerabat atau tetangga korban membaca berita tersebut lalu (tak sengaja) mengungkitnya kembali? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini perlu terus ditancapkan di otak saat kita menulis kasus kejahatan seksual.

Tentu saja, sikap-sikap yang melewati batas semacam ini tidak hanya dilakukan oleh Detik X. Jumat, 10 Juni 2016, Liputan6.com merilis berita berjudul: Anggota DPRD Natuna Diduga Hamili Siswi SMA. Dalam berita ini, mereka menyebut nama sekolah si korban, yang melanggar kerahasiaan identitas korban. Mereka juga menggunakan kata “diduga” di judul berita. Ini mengisyaratkan keraguan atas pelaporan kejahatan seksual. Padahal, mereka menulis bahwa korban telah memberikan pernyataan terkait kejadian yang menimpanya. Timbulnya keraguan ini berkelindan dengan fakta bahwa sangat sedikit kejahatan asusila yang dilaporkan. Sehingga, ada kesan media “mudah ragu” dengan seseorang yang melaporkan kejahatan asusila yang melanda dirinya sendiri. Ini menjadi semacam lingkaran setan. Korban tidak mau melapor, karena takut kerabat dan orang-orang terdekatnya tahu. Bila melapor, media “mudah ragu”. 

Masih banyak media-media lain yang melakukan pelanggaran yang sama. Kita bisa memerhatikan hal-hal tersebut di setiap munculnya pemberitaan mengenai kejahatan seksual, yang mungkin selama ini tak kita sadari.




ilustrator: Cinta Dzilhaq

Selama rentang Januari-Juni 2015, Komnas Perempuan melakukan penelitian yang kemudian dipublikasikan dalam buku yang berjudul Analisa Media: “Sejauhmana Media Telah Memiliki Perspektif Korban Kekerasan Seksual?”. Mereka menganalisis berita-berita kekerasan seksual dari 9 media, yaitu: Indopos, Jakarta Post, Jakarta Globe, Kompas, Sindo News, Pos Kota, Republika, Tempo, dan Media Indonesia. Dari 225 berita yang dianalisis, pelanggaran yang paling banyak adalah menggunakan diksi yang bias (24,21%), mengungkap identitas korban (23,15%), stigmasi korban sebagai pemicu kekerasan (15,89%). Sedangkan sisanya adalah penggunaan narasumber bias (10,17%), pengukuhan stereotip korban (9,8%), penghakiman korban (8,4%), dan replikasi kekerasan (5,6%). 

Ketika menelusuri internet dan membaca laporan dari Komnas Perempuan ini, dan sadar bahwa begitu banyak media yang mengangkangi Kode Etik Jurnalistiknya sendiri, khususnya dalam pelaporan kejahatan seksual, saya kemudian beripikir: apakah sebegitu sialnya kita tinggal di negara yang kualitas medianya semacam ini?

Baiklah, saya rasa cukup untuk berkeluh kesah. Selanjutnya, mari melihat persoalan ini dengan sudut mata yang lebih luas.

Sangatlah tidak adil hanya menyalahkan wartawan sebagai biang kekacauan dari berita-berita yang kita konsumsi. Karena, wartawan toh juga pekerja. Ia manut pada kehendak pemilik media yang bergentayangan di ruang-ruang redaksi. Ketika pemilik media sedang ngiler kekuasaan politik, Segenap Kru Yang Bertugas tentu membentuk suatu jalan politik yang dicekoki kepada pembaca melalui kata, gambar, dan suara. Sebab media memang punya kekuatan itu. Kita baru saja mengalaminya di tahun 2014.

Kekuatan yang lain adalah potensi iklan. Ia menyasar media-media yang punya banyak pembaca. Maka, sebagian besar media di Indonesia, mengarahkan tangan-tangan wartawannya untuk memproduksi kata dan visual yang membuat gaduh, heboh, memikat, meski abai pada verifikasi.

Saya tidak sedang memperdebatkan kualitas media cetak versus online di Indonesia. Sebab, perdebatan itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang cengeng pada kedigdayaan masa lalu, dan orang-orang yang gegabah menatap perkembangan. Yang terpenting dari jurnalisme adalah kualitasnya, ceritanya. Bukan mediumnya. Membaca berita-berita yang disuguhkan tribunnews.com memang memuakkan. Namun, membaca versi cetak Kedaulatan Rakyat juga tak jauh berbeda dengan mendengar obrolan ibu-ibu yang sedang mempersiapkan hidangan selametan. Mereka hanya berupa talking news.

Lalu, bagaimana menyikapinya? Sebuah kalimat dari Jello Biafra, saya rasa tepat untuk menjawabnya: don’t hate the media, become the media. Daripada membenci, sehingga menghabiskan banyak energi, mending melakukan hal yang lebih realistis: mengembangkan media alternatif.

Di sinilah sebenarnya letak peluang dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat – apalagi dengan berkembangnya media online yang memudahkan. Lembaga-lembaga ini bisa mengembangkan media sesuai bidangnya masing-masing dengan menawarkan produk jurnalistik yang berkualitas. Agar tak terdikte oleh iklan, media online yang dibentuk bisa menerapkan sistem pay wall. Artinya, orang yang ingin membaca produk tersebut diharuskan membayar, atau berlangganan. Akan tetapi, di Indonesia, sistem seperti ini mungkin tidak dapat berjalan lancar dalam beberapa tahun ke depan. Karena, sebagian besar masyarakat Indonesia masih berpikiran bahwa membaca berita online tidak mesti membayar. Mungkin juga belum ada kehausan yang besar pada karya jurnalistik yang berkualitas.

Bila “melakukan” terasa berat, kita juga bisa kok cuma berharap. Semoga di Indonesia ada juga manusia macam Eugene Meyer yang membeli The Washington Post dan berujar, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, surat kabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat,” (dikutip dari andreasharsono.net). Dan Meyer akhirnya benar. Karena mengutamakan kepentingan masyarakat, media yang dibelinya menjadi sangat prestisius dan menguntungkan secara bisnis.

+Dandy Idwal Muad // Tapak.in

Kusutnya Pemberitaan Kejahatan Seksual dan Sikap Kita Reviewed by Dandy Idwal on Agustus 05, 2016 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Komentari kalo perlu ...

© 2016 - 2017 Tapak | Mencatat Jejak All Rights Reserved.
Diberdayakan Blogger. Didesain oleh Junion dari Jejak Creativate

Kontak Redaksi

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.