random

Nikmati Saja Sepakbola

sumber: europe1.fr
Setelah lebaran tahun 2015 usai, Perseka (Persatuan Sepakbola Kalowang) akan mengikuti turnamen tahunan se-Pulau Sapudi. Pendaftaran klub-kub yang akan bertandingan dilakukan saat bulan puasa. Pembukaan turnamen ini dijadwalkan, seingat saya, dua minggu setelah lebaran selesai.

Sampai sehari sebelum lebaran, seperti desa-desa lainnya di Indonesia, orang-orang dari kota berdatangan. Ada yang harus dijemput saat sampai di dermaga, ada yang bawa motor atau mobil sendiri. Perantau, bagaimanapun, nasibnya bermacam-macam. Kalau yang sudah bertahun-tahun merantau biasanya sudah menjadi bos, sehingga kalau pulang membawa mobil. Sedangkan yang baru lulus SMA atau bahkan SMP, lalu bekerja di kota, keluarganya datang menjemput dengan motor. Beberapa perantau anyar memang ada yang ikut mobil bosnya. Tapi, tak selalu begitu. Ada juga yang sudah merantau bertahun-tahun tapi hutangnya semakin banyak.

Para perantau yang masih anyar ini, kalau mendengar akan ada turnamen bola, hampir semuanya mengajukan diri untuk bermain. Tak heran, sebab di kota mereka hanya bisa bergumul dengan rumput sintetis atau vinyl di ruang futsal yang pengap. Paling hanya para penjaga toko di Taman Puring, Jakarta Selatan, yang masih bisa bermain di lapangan Senayan. Itu pun tidak setiap hari.

Maka, ketika pelatih Perseka bertanya: “Mau ngirim berapa tim nih kita?”

“Dua tim aja. Banyak ini yang mau main,” sahut pemuda-pemuda di sekelilingnya.

Perseka pun mendaftarkan dua tim: Perseka A dan Perseka B.

Kacaunya persiapan turnamen dari panitia, membuat jadwal turnamen pun diundur satu bulan. Anak-anak kecewa. Harapan untuk merasakan atmosfer sepakbola Tarkam (antar kampung) seketika lenyap. Pupus juga keinginan untuk mendengar ocehan komentator fasih yang tidak pernah sekolah. Dan yang paling disayangkan, ini bukan Tarkam biasa. Ini Tarkam yang setiap pertandingannya diiringi world cup anthem.

Para perantau yang masih karyawan ini tidak bisa menunda keberangkatannya. Karena saat bosnya bilang berangkat, ya harus berangkat.

Ketika jadwal pertandingan hampir tiba, boro-boro dua tim, 11 pemain saja tidak ada. Maka gerilya pun dilakukan. Pelatih dan pemain yang tersisa, mencari orang di berbagai sudut desa untuk bermain sepakbola. Ada yang mengajak pamannya hingga tetangganya. Petani yang sehari-hari mencangkul sawah, mengarit rumput, dan memancing ikan juga diajak. Tukang las pun tak luput dari rayuan.

Tentu tak semuanya mau. Beberapa orang beralasan sudah tak kuat fisiknya atau ada kerjaan yang tak bisa ditinggalkan. Tapi ternyata ada juga yang secara kasat mata terlihat tak lagi punya nafas panjang, karena memang sudah tua, mau ikut turnamen.

Saat perjalanan ke lapangan pertandingan, sudah ada 11 pemain, namun hanya ada 1 cadangan. Para pemain pun berangkat dengan wajah cengar-cengir, mungkin membayangkan akan seperti apa jalannya pertandingan. Pelatih Perseka pun menyuruh supir pick up yang membawa para pemain untuk ikut bertanding.

“Tapi aku nggak punya sepatu.”

“Tenang, ada kok.”

Lima belas menit pertandingan berlangsung, salah satu pemain Perseka, sudah tua, merangkak ke pinggir lapangan. Penonton riuh dengan tawa.

“Ganti oiii ...” Dia sudah tak kuat berdiri lagi, apalagi berlari. Dia merangkak dengan dada yang kembang-kempis dengan cepat. Dia pun diganti. Kemudian dia menyender di kursi dengan wajah pucat sama sekali.

Di titik sepeti ini kita bisa sadar bahwa sepakbola tidak lepas dari aspek-aspek kehidupan lain, salah satunya ekonomi. Pendanaan, sekaligus pengaturan keuangan, harus benar-benar dibenahi bila kita ingin menikmati sepakbola yang lebih baik lagi. Sumber keuangan tidak bisa lagi hanya mengandalkan sumbangan sukarela dari orang-orang kaya yang kebetulan menggilai sepakbola. Karena pada akhirnya sumber pendanaan klub yang seperti itu akan habis. Orang-orang yang dulunya menjadi penyumbang tetap di Perseka, misalnya, merasakan hal yang sama dengan para pemilik Sapi Kerapan. Semakin sering bertanding, dia akan semakin kehilangan banyak uang. Beli air minum, jamu, nyewa dukun, biaya tahlilan (istighosah) di malam hari sebelum laga, membayar pemain yang didatangkan dari luar pulau, biya sewa pick up, dan tentu ada beberapa biaya lagi. Ini bisa dibebankan hanya pada satu orang.

Kalau pemilik Sapi Kerapan masih bisa untung. Bila sapinya yang masih muda menang di Kerapan Sapi, meski hanya tingkat kecamatan, harganya bisa sampai 100-an juta rupiah. Tapi, kadang-kadang, pemilik sapi itu tidak mau menjualnya karena terlalu sayang sama sapinya.

Sehingga, kalau PSSI dan berbagai lembaga pemerintahan sudah tidak sibuk mengurusi dirinya sendiri, perlu disadari bahwa untuk membangun sepakbola nasional tidak bisa hanya dengan penggelontoran duit. Manusia-manusianya perlu dibina agar berketerampilan baik dalam hal teknis sepakbola, keuangannya, maupun bisnisnya.

Ini bukan berarti melihat sepakbola hanya dari sisi komersial. Kita memang sudah harus mulai menerima kenyataan. Sepakbola harus berbenturan dengan berbagai aspek kehidupan dan kondisi-kondisi sosial global. Sebab sepakbola pada hari ini bukan lagi sekadar pergumulan bola dengan kaki-kaki telanjang orang Tiongkok.

Namun ada sekelompok orang yang tidak senang bila sepakbola sudah bersetubuh dengan motif-motif lain. Sepakbola, bagi mereka, harus dimainkan dengan niat sesuci mungkin, sebagaimana orang-orang Tiongkong memulainya. Pujaan mereka adalah kaki telanjang anak-anak yang memainkan bola di gang-gang sempit di kota. Kaki-kaki kasar anak-anak yang bermain bola di sepetak sawah di musim kemarau dengan tanah yang tak rata atau permainan bola di pasir pantai pinggir karang, juga menjadi alasan pembelaan agar sepakbola dikembalikan pada hakikatnya.

Apalagi saat Noam Chomsky mengkritik sepakbola. Orang-orang kemudian mulai membenci sepakbola yang tersiar di berbagai saluran televisi. Filsuf asal Amrik ini menyebut sepakbola telah “mendorong kompetisi yang tidak rasional dan loyalitas yang tidak masuk akal terhadap sistem kekuasaan”. Ia juga menuding sepakbola “membangun aspek anti-sosial yang ekstrim dari psikologi manusia”. Yang paling menyesakkan, namun sebenarnya mudah disadari, sepakbola dianggapnya telah “menjauhkan orang-orang dari hal-hal lain”.

Sampai-sampai seorang John Moffit berhenti sebagai pemain American Football karena terpengaruh ucapan-ucapan Chomsky. Mahasiswa Sosiologi dari University of Wisconsin ini memutus kontrak dengan Denver Broncos pada tahun 2013. Padahal kontraknya baru habis tahun 2014. Saat memilih berhenti dari dunia olahraga, dia berencana untuk menjadi seorang public figure di bidang filsafat dan politik.

Menurut saya, dalam batasan-batasan tertentu, Chomsky benar. Tapi mungkin dia lupa bahwa manusia adalah hewan yang aneh. Mereka bisa paham bahwa dirinya terjebak sesuatu yang menyesatkan, namun tetap suka rela menikmatinya. Para penggemar bola tahu, walau tak semua, bahwa semakin mereka menggilai sepakbola, maka mereka hanya akan menambah pundi-pundi kekayaan pemilik klub. Klub memperoleh tumpukan uang dari hak siar televisi yang disumbang dari sambungan TV-TV kabel, juga pajak. Mereka juga akan semakin memperkaya Messi dan Ronaldo. Ketika membeli sepatu Nike ori, misalnya, maka bisa saja duit itu masuk ke kantong Neymar.

Jadi tidak heran bila Chomsky mengatakan bahwa sepakbola adalah bagian dari sistem kekuatan kapitalisme. Walau dalam hal ini kita harus paham betul dalil pokok kapitalisme, sebab pemahaman tentang kapitalisme sudah mulai kabur.

Para Gooners tahu bahwa mereka akan semakin dihisap uangnya oleh Stan Kroenke dengan naiknya tiket masuk Emirates – termahal di Premier League, bergantinya corak kostum tim setiap musim, dan giuran marchandise lainnya. Tapi, toh, mereka tetap datang ke Emirates, memenuhi kursi-kursinya. Ketika sudah berada di dalam stadion mungkin mereka sudah lupa dengan segala bentuk penghisapan itu jika sudah melihat assist menawan dari Özil, blok elegan Mertesacker, atau sundulan ganas dari Giroud. Banyak fans Arsenal marah karena Stan Kroenke membeli tanah pertanian dan peternakan di Texas dengan harga yang hampir sepuluh triliun rupiah, sementara pembelian pemain-pemain bintang tak kunjung dilakukan. Tapi itu terjadi di luar stadion. Itu diucapkan saat mata para Gooners tak menonton Arsenal berlaga di layar kaca. Mungkin fenomena seperti ini yang membuat Chomsky merasa para fans sepakbola memiliki loyalitas yang tidak masuk akal terhadap kekuasaan.

Sepakbola memang sudah memiliki wajah lain berupa industrialisasi. Sepakbola adalah sebuah komoditas yang menggiurkan. Sampai-sampai nabi saya, Eduardo Galeano, menyebut mantan presiden FIFA, Sepp Blatter, adalah mucikari yang rajin berkeliling dunia untuk menjajakan apa saja yang bisa dilacurkan dari sepakbola.

Tapi apakah bisa kita menikmati indahnya pergerakan tanpa bola David Silva di Manchester City bila klub itu tidak dibeli oleh Yang Mulia Mansour? Apakah mungkin klub gurem-semenjana macam Chelsea bisa juara Liga Champions jika tak disuplai duit sama milyader dari Russia? Chelsea bisa membeli Didier Drogba yang kemudian memusnahkan harapan Bayern Munich di final Liga Champions 2012. Roman Abramovich akhirnya pun senyum-senyum malu setelah bisa memegang si Kuping Lebar.

Saya lebih memilih untuk menghiraukan omongan Chomsky bila sudah mulai menonton sepakbola. Saya rela dihisap, bila yang menghisap adalah sepakbola. Bodoh amat. Ketika Euro 2016 mulai bergulir di dini hari yang sunyi, mata yang di tengah-tengah malam mulai terkantuk kembali cengar. Apalagi kalau sudah melihat Ramsey yang mulai menari-nari di lapangan. Begitu lembut, bagai penari Tari Jogja yang mulai menekuk kaki, melentik jari, menyorongkan kepala agak condong ke kiri, dan tersenyum pada saya. Menyegarkan.

Saya juga tidak habis pikir dengan orang-orang yang tidak lagi menonton sepakbola karena hal-hal rasional seperti yang diucap Chomsky, atau yang mereka rasakan sendiri. Setia pada pikiran nalar boleh-boleh saja, tapi kok ya sampai meninggalkan sepakbola. Dan parahnya, menghasut teman-temannya.

Kalau Tan Malaka menyarankan agar pendidikan disudahi saja bila para kaum-kaum terpelajar semakin jauh dari kehidupan masyarakatnya sendiri, saya juga menyarankan agar para kaum intelektual-rasional-ngehe itu berhenti ngomongin bola bila pada akhirnya murtad juga lalu mengajak yang lainnya.

Singkatnya, nikmati saja sepakbola, bagaimanapun caranya.

+Dandy Idwal Muad // Tapak.in
Nikmati Saja Sepakbola Reviewed by Dandy Idwal on Juli 05, 2016 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Komentari kalo perlu ...

© 2016 - 2017 Tapak | Mencatat Jejak All Rights Reserved.
Diberdayakan Blogger. Didesain oleh Junion dari Jejak Creativate

Kontak Redaksi

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.