random

Inggris yang Lupa Diri


Saya telat 4 menit saat Inggris menghadapi Islandia di babak 16 besar Euro 2016. Karena, setelah menonton Italia vs Spanyol yang sudah sejak menit pertama Spanyol terlihat kebingungan, saya dan teman-teman bermain Winning Eleven (WE). Saya nggak suka dengan game play WE. Soalnya saya terbiasa dengan FIFA, yang mempunyai slogan “taste the real”, ketimbang PES yang game play-nya sangat buruk, tak nyata, khayal. Alih-alih FIFA, PES saja belum ada yang punya di kampung ini. Gameplay WE, wah, lebih buruk lagi daripada PES. Pakai saja Real Mardid saat bermain WE, dan akan menang dengan hanya memakai satu orang: Ronaldo.

Saat mengganti TV ke siaran Euro, Rooney sudah bersiap di depan titik putih. Penalti. Ini disebabkan oleh pelanggaran pemain bek Islandia pada cabe-cabean Inggris: Sterling. Teman di samping saya, menekan tombol pause di remote saat tayangan ulang gol Rooney. Dia memotretnya.


“Ganti dp BBM dulu ah...” dia menyeringai.

Teman saya ini pendukung Inggris. Tapi itu tidak sepenuhnya benar. Yang sebenarnya: dia fans MU! Maka, di pertandingan ini dia bukannya ingin menonton Inggris, tapi ingin terkagum-kagum sama rambut Rooney yang mulai tumbuh.

Katanya, Rooney “menghabiskan miliayaran rupiah untuk menumbuhkan rambut. Lihat, dia sudah tidak botak sekarang”.

Sehabis tarawih tadi, saya sudah bilang ke teman saya yang mabuk Setan Merah, “Inggris malam ini akan pulang, kecuali Roy Hodgson menepikan Rooney di bangku cadangan”.

Dan, ketika saya melihat Rooney akan menyepak bola di titik putih itu, saya berkata lagi bahwa “Inggris benar-benar bakal pulang. Roy Hodgson ngeyel”.

Tentu saja teman saya ini tidak mendengar ocehan saya. Dia sibuk memuja-muja Rooney. Memujanya bak dewa singa.

Saat teman saya belum berhenti girang, bola melesat di samping Joe Hart. Cukup keras. Jala gawang bergetar, lalu berayun-ayun. Inggris kebobolan! Hanya selang dua menit! Sigthorsson berada tepat di muka gawang Inggris, tanpa kawalan, dan menyambar bola dengan jumawa. Teman saya hanya melongo, tak percaya. Ekspresinya campur aduk antara kecewa, tak percaya, dan marah. Wajah teman saya itu cukup tepat untuk menggambarkan kelakuan Inggris di rumput-rumput stadion selama ini: PHP, Pemberi Harapan Palsu. Itu memang sudah melekat dalam jiwa inggris, sudah mendarah daging. Bisa dibilang itu adalah DNA-nya Inggris. Setidaknya selama satu dekade terakhir.
Roy Hodgson ngeyel. Tapi bukan ngeyel terhadap orang lain, dia ngeyel pada dirinya sendiri. Dia tahu, si lincah Delle Alli lebih mahir memainkan peran pemain no. 10 daripada Rooney. Tottenham Hotspurs sudah merasakan berkahnya musim lalu. Tapi Roy tak mendengarkan dirinya sendiri. Tujuannya adalah memainkan Rooney. Tapi di mana? Di posisi apa? Di posisi striker sudah ada si klimis Harry Kane, atau Jami Vardy yang jelas lebih haus gol daripada dirinya. Di sisi lebar lapangan, Sturridge bisa lebih diandalkan. Mungkin hanya sisi sayap kiri yang masih memungkinkan, mengganti cabe-cabean itu.

“Kita sedang membicarakan pemain yang telah memiliki lebih dari 100 caps bersama timnas Inggris. Dan dia seorang kapten.” Begitu kata Roy sebelum pergelaran Euro 2016 dimulai. Roy segan pada Rooney. Bah!

Saya menduga, Roy tergoda untuk meniru tim-tim besar Inggris yang mulai bermain yang tidak Inggris. Umpan-umpan tenang yang agak pendek, minim tekel, jarang umpan panjang, tidak lagi mengandalkan crossing, menjadi wajah-wajah baru permainan tim-tim Inggris. Gaya kick and rush sudah mulai terkikis. Gaya yang menggelorakan semangat bertarung hingga peluit akhir pertandingan. Semangat yang tertanam dari tradisi orang-orang Celt di Inggris. Kalau memang perlu menjegal, ya menjegal. Betapa asyiknya melihat sayap-sayap tradisional Inggris yang menyisir sisi luar lapangan, lalu memberikan crossing ke depan gawang lawan, sehingga bola disambar oleh seorang target man. Dulu, ini bisa kita lihat pada cara bermain MU di era Fergie saat awal-awal melatih. Tapi, sekali lagi, itu dulu.

Kita melihat betapa melempem-nya Inggris saat melawan Islandia. Mereka sangat berhati-hati dalam bermain, memuja kesucian taktik. Memangnya mereka Spanyol yang dengan keangkuhannya selalu ingin bermain indah? Memangnya mereka Italia dengan Catenaccio-nya? Mereka bukan Eropa daratan! Mereka Inggris!

Fenomena ini juga bisa disebut sebagai dosa Wenger. Dia salah satu orang yang memulainya. Dia mengubah gaya permainan Arsenal di era Herbert Chapman yang sangat Inggris, kick and rush, menjadi gaya bermain seperti yang para penggemar sebut sebagai Wenger Ball. Umpan-umpan yang terencana, taktis, built up yang rapi, cukup pendek, namun tidak sama dengan tiki-taka. Bek-bek Arsenal tak lagi bertipikal petarung. Mereka kemudian menjelma menjadi hanya sekadar tameng, memblok bola agar tak meluncur deras ke gawang. Atau bila ada kesempatan, mencuri bola dengan cara yang diusahakan elegan cum egaliter.

Sejak itulah Arsenal mulai kehilangan sosok-sosok warrior macam Patrick Viera. Seorang gelandang bertahan yang rela berdarah-darah, menjegal, dan kalau perlu berkelahi dengan siapa saja yang berani mendekat ke sepertiga lapangan Arsenal. Tapi Viera tidak hanya tahu cara berkelahi, dia bisa melambungkan bola dengan sangat akurat kepada Henry atau Bergkamp. Dia tembok dinamis yang membuat lawan seringkali sebal. Namun, kita sama-sama tahu yang muncul sekarang adalah pemain macam Couqelin. Berandalan dari Prancis yang bahkan tidak tahu caranya mengumpan.

Gaya bermain Arsenal ini, anehnya, digemari juga oleh para fans Arsenal. Saya curiga para fans itu mulai iri pada gaya bermain Barcelona, misalnya. Lalu lupa pada identitasnya sendiri. Saya kira Stoke City yang masih bermain dengan cara Inggris.

Saat Sigthórsson mencetak gol kedua bagi Islandia (catat, bukan penalti lho, open play!), akibat tangan lemah dari Joe Hart, semakin terlihat kemurangan dan jiwa-jiwa kehilangan semangat dari para pemain Inggris. Roy berkali-kali mengusap wajah tuanya, bingung harus berbuat apa.

“Kipernya dari Tetangga Yang Berisik itu sih!” seloroh teman di samping saya.

Nah! Ini juga masalah di timnas Inggris. Masalah Inggris sudah membludak memang. Tak hanya dari segi mentalitas pemain dan gaya bermainnya, tapi dukungan dari suporter Inggris terpecah belah. Padahal, seperti yang Eduardo Galeano bilang, permainan sepak bola tidak seperti sebuah kata yang sudah melekat dalam benak kita: kesebelasan. Sepak bola, menurut penulis dari Uruguay itu, dimainkan oleh 12 pemain. Pemain ke-12 adalah suporter.
Dia bilang begini dalam bukunya Soccer in Sun and Shadow:
Rarely does the fan say,”My club plays today.” He says, “We play today.”

Kecuali di Madura. Di sana, tim sepakbola menjadi 13 pemain, termasuk dukun.

Ketika Inggris ditahan imbang oleh Russia di matchday pertama, fans Arsenal akan bilang bahwa “Ini gara-gara tim Inggris kebanyakan diisi pemain Spurs!”. Selama pertandingan, mereka tentu akan berteriak-teriak “masukkan Wilshere!”.

Sementara fans Liverpool akan terus-terusan menyayangkan Roy tidak memasang Sturridge di lini depan.

Apalagi fans MU, mereka kan bilang: “Tuh kan, apa gue bilang, Rooney diganti Wilshere sih. Wilshere masuk jadi kebobolan kan.”

Kalo fans Liecester bunyinya bakal gini: “Son... Son... lagian ngapain batalin manggil Drinkwater cuma buat manggil Wilshere!”

Ini nyata. Dan selalu begitu. Kita bisa membayangkan pertengkaran yang bakal terjadi setelah Inggris dipecundangi negara yang baru memulai debutnya di Euro 2016. Sebab Ini benar-benar kekalahan yang menyedihkan, membuat kesal dan sock para penggemar. Sampai-sampai Times menulis: the most humiliating defeat in England’s history.

Saya, secara pribadi, menaruh hormat dan berbahagia melihat pemain, pelatih, dan staf-staf tim Islandia merayakan kemenangan mereka dengan para fans. Mereka sadar, pencapaian sampai ke perempat final juga atas dorongan energi dan hentak-hentakan kaki di tribun.

Akhirnya, Hodgson di konferensi pers usai laga mengungkapkan bahwa “Ini telah menjadi perjalanan yang fantastik selama 4 tahun. Saya akan mengingatnya dengan bangga. Saya mohon maaf atas berakhirnya jalan ini dengan keluarnya Inggris dari turnamen. Saya berharap kita bisa segera melihat Inggris berada di final di turnamen besar lainnya.” Ada nada kegetiran di dalamnya. Roy mundur dari kursi kepelatihan Inggris, hanya beberapa menit setelah pertandingan berakhir.

Ragnar Sigurdsson, di sisi yang lain, berucap: “Mereka memulainya dengan baik, tapi mereka terkejut dengan skor penyeimbang dan hasil 2-1. Mereka panik, sebab mereka berpikir mereka adalah tim yang bagus. Seperti yang kamu tahu, sangatlah susah mencetak gol ke gawang Islandia.”

Mungkin Ragnar benar, Inggris terlalu jumawa dengan dirinya yang sekarang. Sehingga mereka lupa, mereka yang sekarang bukanlah cerminan diri mereka sendiri.
+Dandy Idwal Muad // Tapak.in
Inggris yang Lupa Diri Reviewed by Dandy Idwal on Juli 01, 2016 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Komentari kalo perlu ...

© 2016 - 2017 Tapak | Mencatat Jejak All Rights Reserved.
Diberdayakan Blogger. Didesain oleh Junion dari Jejak Creativate

Kontak Redaksi

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.